Orasi Ilmiah Guru Besar Unpad

Sapi Perah Pertama Ada di Lembang, Produksi Susu Nasional Tak Cukupi Kebutuhan, Haruskah Impor?

Achmad Firman, dalam orasi ilmiah berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar, sebut produksi susu nasional belum cukupu kebutuhan masyarakat.

Editor: Kisdiantoro
istimewa
Peternak sapi perah masih memerlukan dukungan serius untuk bangkit 

Hadirin yang saya Muliakan

Uraian-uraian yang telah dipaparkan tadi hanyalah secuil dari ilustrasi sebenarnya dari subsektor ini. Apabila diuraikan lebih luas tidak akan cukup waktu untuk menguraikannya di acara yang istimewa ini. Yang jelas uraian di atas dapat memberikan gambaran kondisi eksisteng subsektor peternakan dalam menghadapi tantangan di masa depan.

Tantangan yang harus dihadapi pada masa kini dan masa depan oleh subsektor ini adalah sebagai berikut:

Mengurangi Gap Perdagangan Internasional melalui Pemanfaatan Sumber Daya Lokal.

Salah satu tingginya gap perdagangan Internasional pada subsektor peternakan adalah ketergantungan komoditas tertentu terhadap luar negeri, seperti daging sapi, susu, dan bibit ayam (Yusdja et al, 2003). Tingkat ketergantungan ini karena sumber daya lokal belum mampu mengimbangi permintaan. Indonesia memiliki rumpun sapi lokal yang potensial untuk dikembangbiakkan, seperti sapi Bali.

Pengembangbiakkan sapi Bali sudah merambah ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Perlu proses yang cukup panjang dalam pengembangan ruminansia besar ini, dan juga memerlukan lahan dan sumber daya pakan yang mendukung perkembangannya.

Pengembangan usaha sapi perah sebagai pabrik susu di Indonesia masih belum mampu memenuhi demand. Apalagi kasus Penyakit Kuku dan Mulut (PMK) yang melanda Indonesia sejak akhir April 2022, komoditas sapi perah merupakan ternak yang sangat terdampak oleh kasus ini.

Dampak PMK terhadap sapi perah adalah penurunan produksi susu (25% - 33%), penurunan fertilitas (angka abortus mencapai 10%) dan perlambatan kebuntingan, kematian pada sapi induk dan anak sebesar 10%-40% (Satya et al., 2017; Rushton and Knight-Jonesc, 2015; Singh et al., 2013). Sapi perah yang sembuh dari PMK tidak mampu memproduksi susu seperi sebelum PMK, paling tinggi hanya 80% sebelum PMK.

Upaya mendatangkan sapi perah yang berasal dari negara tropis lainnya, menjadi salah satu solusi perbaikan. Akan tetapi, solusi ini harus dilakukan secara bertahap agar para peternak sapi perah ataupun yang akan jadi peternak sapi perah nantinya dapat beradaptasi dengan sapi perah dari daerah tropis tersebut, ketersediaan lahan dan hijauan.

Ayam broiler yang kita makan sehari hari adalah final stock (FS) yang merupakan hasil dari parents stock (PS) dan grand parent stock (GPS). Indonesia sangat tergantung pada impor GPS dari luar negeri yang hanya ada dua atau tiga perusahaan pembibitan penghasil GPS dan Pureline. Jadi seluruh negara dari penjuru dunia di support oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan pasar industri unggas dunia ini adalah Oligopoly Market sehingga perusahaan-perusahaan tersebut sebagai price setter. Artinya, pembeli tidak memiliki bergaining position terhadap pembelian bibit tersebut karena ketergantungan yang sangat tinggi.

Oleh karena itu, perlu upaya yang signifikan untuk membangun pembibitan ayam lokal yang produksinya mampu bersaing dengan ayam broiler. Memang tidak mudah membangun upaya tersebut, perlu biaya yang tinggi dan butuh waktu yang lama menghasilkan bibit unggul atau pureline, akan tetapi apabila tidak diupayakan, maka ketergantungan akan terus terjadi.

Dampak Lingkungan

Isu mengenai dampak lingkungan sudah dimulai di negara maju sejak tahun 1713 dan lebih menguat lagi di tahun 1970-an. Ternak merupakan penghasil emas merah (daging), emas putih (susu), emas krem (telur), emas campuran (tulang, jeroan, dan kulit), dan emas hijau (kotoran). Emas hijaulah yang sering menjadi masalah peternakan.

Peternakan, selain menghasilkan produk daging, susu, dan telur, ternak juga menghasil kotoran padat, cair, dan bau. Ketiga komoditas ini sering menjadi permasalahan utama ditutupnya usaha peternakan di suatu wilayah. Bahkan, ketika usaha peternakan sudah berupaya untuk menjauh dari pemukiman, akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu dan dibukanya akses jalan yang melintasi peternakan, maka lambat laun berdirilah bangunan pemukiman yang bertetangga dengan peternakan. Para pemukim itu merasa tidak nyaman karena bau dari peternakan tersebut. Apabila dikonotasikan dengan nyanyian Viral “Entah siapa yang salah, Ku tak tahu”.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved