Kisah Mitra Dago: Menolak Pasrah Pada Sampah
Gerakan ramah melawan sampah yang digiatkan warga Mitra Dago beberapa tahun terakhir, bersambut gayung dengan pihak-pihak yang mendukung.
Penulis: Nazmi Abdurrahman | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
“Bau banget, apalagi sekarang musim hujan jadi lebih terasa banget baunya," ujar Rizal, salah satu warga Antapani.
Berjarak sekitar 750 meter dari TPS Antapani yang dipenuhi tumpukan sampah, sebuah perumahan elit bernama Mitra Dago Parahyangan justru tampak terawat, tidak terlihat jejak penumpukan sampah yang belum terangkut.
Perumahan yang sudah berdiri sejak 1997 itu, dihuni beragam profesi seperti pengusaha, Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dokter hingga Wakil Gubernur Jabar, Erwan Setiawan memiliki rumah di kawasan tersebut.
Jalan setiap bloknya bersih, di beberapa sudut pekarangan rumah warga tumbuh tanaman sayuran kangkung, pakcoy, cabai hingga tomat.
Di ujung perumahan, sebuah bangunan sederhana berukuran 3x5 meter persegi, menjadi titik keramaian siang itu, Sabtu 15 November 2025.
Beberapa siswa SMA, bersama ibu-ibu duduk melingkar, menyimak penjelasan seorang perempuan berjilbab hitam yang berdiri di depan mereka.
Suaranya terdengar lembut, namun tegas. Sesekali diselingi gerakan tangan, memberikan penekanan agar lebih jelas.
Dialah Fentiani Atmawinata (59), Ketua Mitra Dago Peduli Nyaah ka Bumi. Sebuah kelompok swadaya di RW 11, Kelurahan Antapani Wetan, Kecamatan Antapani, Kota Bandung.
“Kalau peduli lingkungan, maka kita akan mewariskan bumi yang bersih untuk keturunan kita,” ucap Fentiani, membuka obrolan bersama Tribun Jabar di Posko Mitra Dago Peduli Nyaah ka Bumi.
Keresahan Melahirkan Kesadaran Kolektif
Mitra Dago Peduli Nyaah ka Bumi yang berarti sayang terhadap bumi, lahir dari keresahan warga terhadap sampah di lingkungan perumahan.
Fentiani menginisiasi gerakan memilah sampah di perumahan elit itu pada 2018, dengan melakukan pemilahan sampah dari rumah secara mandiri.
“Awalnya membuat empat lubang biopori di pekarangan rumah. Sampah organik dipotong kecil-kecil, dimasukkan, ditutup daun kering,” ujar Fentiani.
Langkah sederhana berdampak nyata. Ketika Lebaran tiba, warga di perumahannya mengeluh bau karena sampah terlambat terangkut, Fentiani justru tidak mencium apa-apa. Semua sampah organik terurai di lubang biopori, kembali ke bumi secara alami.
“Saat itu saya berpikir, bagaimana kalau semua warga melakukan hal yang sama? Pekarangan rumah di sini relatif luas, cukup untuk mengolah sampah organik,” katanya.
| Pengelolaan Sampah Terintegrasi di Waduk Saguling Berdayakan Ekonomi Ribuan Warga |
|
|---|
| Realisasi Investasi di Kota Bandung Melampaui Target, Tahun Ini Tembus Rp 10 Triliun |
|
|---|
| Banyak Genangan Saat Musim Hujan di Bandung, Dinkes Waspadai Peningkatan Kasus DBD |
|
|---|
| Penertiban Parkir Liar di Bandung Ditingkatkan pada Akhir Pekan, Biaya Derek Rp245 Ribu-Rp1,05 Juta |
|
|---|
| Jumlah SDM Tidak Ideal, Damkar Kota Bandung hanya Punya 278 Personel dan 54 Armada |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/Warga-Mitra-Dago-Peduli-Nyaah-ka-B.jpg)