Polemik Dana Mengendap, Pengamat Uninus: BLUD Punya Fleksibilitas, Tapi Tetap Uang Publik

Menurut Dedi, data yang benar ialah per 30 September 2025 tercatat dana di kas daerah Jabar sekitar Rp 3,8 triliun

Penulis: Nappisah | Editor: Ravianto
Kolase/ (Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden)-Tribun Priangan
DANA MENGENDAP - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) dan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (kanan). Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa terlibat adu argumen dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut ada 15 Daerah yang memarkir duit negara di bank dalam bentuk deposito.  

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Isu dana mengendap milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut adanya Rp4,1 triliun duit negara didepositokan

Namun, pernyataan itu segera dibantah oleh mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang memastikan tak ada dana Pemprov Jabar yang “diparkir” di deposito.

Sebagai informasi, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut ada 15 Daerah yang memarkir duit negara di bank dalam bentuk deposito. 

Berdasarkan data Bank Indonesia per 15 Oktober 2025, beberapa daerah tersebut di antaranya DKI Jakarta Rp14,683 triliun, Jawa Timur Rp6,8 triliun dan Jawa Barat Rp4,17 triliun.

Menurut Dedi, data yang benar ialah per 30 September 2025 tercatat dana di kas daerah Jabar sekitar Rp 3,8 triliun (dalam bentuk giro), dan bukan deposito sebesar Rp 4,1 triliun. 

Sementara itu, dana lainnya merupakan deposito milik Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang dikelola secara mandiri di luar kas daerah.

Baca juga: Bantah Menkeu Purbaya, Dedi Mulyadi Pastikan Tak Ada Duit Pemprov Jabar Rp 4,1 T yang Didepositokan

Menanggapi hal tersebut, dosen dan pengamat ekonomi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus), Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy, menjelaskan bahwa mekanisme keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) lembaga yang memang memiliki fleksibilitas dalam mengelola pendapatannya.

“BLUD itu bagian dari perangkat daerah yang diberi ruang untuk mengelola keuangan layanan publik seperti rumah sakit, puskesmas, atau UPTD tertentu. Jadi, uang di rekening BLUD tetap merupakan uang daerah, hanya saja pengelolaannya tidak harus selalu melewati kas daerah agar layanan bisa lebih cepat dan responsif,” jelas Rizaldy, Rabu (22/10/2025) malam. 

Ia menegaskan, secara struktur BLUD berada di bawah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), bukan entitas terpisah. Bedanya, BLUD diberi keleluasaan untuk mengelola pendapatan dan belanja sendiri selama masih dalam koridor Permendagri No. 79 Tahun 2018 tentang BLUD serta mengacu pada Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) yang disetujui kepala daerah.

“Kalau dana BLUD disimpan di bank, itu tidak otomatis salah. Yang penting, penempatan dana itu aman, likuid, dan sesuai RBA. Biasanya dalam bentuk giro atau deposito jangka pendek supaya tetap bisa digunakan sewaktu-waktu,” ujarnya.

Menurut Rizaldy, fleksibilitas itu diberikan agar layanan publik tidak terhambat oleh prosedur birokrasi panjang. 

Dia mencontohkan, misalnya, rumah sakit daerah dapat menggunakan dana hasil layanan langsung untuk membeli obat, membayar tenaga medis, atau memperbaiki fasilitas tanpa menunggu proses pencairan dari kas daerah.

Namun, ia mengingatkan bahwa seluruh dana BLUD tetap merupakan uang publik dan harus dikelola dengan prinsip transparansi serta akuntabilitas.

 “Kalau BLUD untung, sisa hasil usahanya (SHU) juga tetap milik daerah. Biasanya digunakan kembali untuk meningkatkan pelayanan atau dikembalikan ke kas daerah,” tambahnya.

Rizaldy juga menilai, perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah kerap menjadi sumber kesalahpahaman dalam isu dana mengendap ini. 

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved