IAW Sebut Celah Coretax harus Dievaluasi: Audit BSSN hingga Risiko Ketergantungan Teknologi Asing
Coretax merupakan tulang punggung dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP).
Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG – Sistem administrasi perpajakan berbasis digital bernama Coretax yang digagas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menuai sorotan publik. Proyek besar yang digadang-gadang menjadi fondasi modernisasi layanan pajak ini rupanya dinilai terlalu bergantung pada tenaga konsultan asing dalam pengadaan dan proses pengembangannya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menyayangkan keputusan penggunaan vendor luar negeri dalam pengerjaan sistem digital tersebut. Ia secara tersirat menyindir keputusan itu sebagai bentuk ketergantungan yang seharusnya bisa diminimalkan.
Dalam kesempatan berbeda, Purbaya bahkan melontarkan gurauan pedas bahwa Indonesia “sering dibohongi pihak asing.” Candaan itu mencuat setelah dirinya mengetahui bahwa salah satu programmer dari LG yang menangani Coretax ternyata hanya berlatar belakang lulusan SMA.
Coretax sendiri merupakan sistem terpadu yang dirancang untuk mempermudah layanan administrasi perpajakan bagi wajib pajak di seluruh Indonesia. Namun, sejak diperkenalkan, sistem ini tak lepas dari keluhan publik lantaran dianggap sering bermasalah dalam operasionalnya.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Kementerian Keuangan akhirnya menggandeng LG guna memperbaiki sejumlah modul yang dinilai bermasalah. Beberapa bagian Coretax pun hingga kini masih bergantung pada perusahaan asal Korea Selatan itu karena kontrak kerja sama yang masih berlangsung.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menjelaskan bahwa Coretax merupakan tulang punggung dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Program tersebut dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 dengan misi menciptakan sistem perpajakan modern berbasis kecerdasan digital.
Menurutnya, kehadiran sistem itu diharapkan mampu menutup celah pajak (tax gap), meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta memperkuat penerimaan negara lewat pengelolaan data yang saling terhubung dan transparan. Meski demikian, ia tak menampik bahwa realisasi proyek ini berjalan penuh hambatan.
Iskandar mengungkapkan, tender internasional proyek Coretax digelar pada tahun 2021 dengan nilai mencapai Rp1,228 triliun. Pelaksanaannya terbagi ke dalam empat fase besar yang dijadwalkan berlangsung dari 2021 hingga 2025.
Fase pertama (2021–2022) berfokus pada desain dan rancangan arsitektur sistem, sementara fase kedua (2022–2023) mencakup pengembangan dan integrasi sistem COTS (Commercial Off The Shelf). Memasuki fase ketiga (2024), proses pengujian serta migrasi data wajib pajak dilakukan, sedangkan fase keempat pada 2025, yakni tahap go-live, mengalami gangguan hingga DJP terpaksa mengaktifkan kembali e-Faktur lama sebagai langkah darurat.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyebut e-Faktur sebagai bagian dari “Coretax success story.” Namun, Iskandar menilai klaim itu belum mencerminkan realitas di lapangan karena sistem lama dan baru masih berjalan berdampingan.
"Itu bukan fakta namun hanya bersifat visioner, hanya menegaskan arah kebijakan, bukan pula realisasi penuh saat ini. Malah laporan publik mencatat adanya gangguan besar pada tahap go-live 2025 yang menyebabkan e-Faktur lama diaktifkan kembali sebagai mitigasi operasional," ujar Iskandar, Senin (27/10/2025).
Ia juga menyoroti pernyataan Purbaya yang menyamakan kualitas Coretax dengan hasil kerja “anak SMA” dan menyarankan agar pemerintah mengikutsertakan hacker putih untuk menguji aspek keamanannya.
"Pernyataan itu tentu bukan sekadar sindiran, tapi peringatan keras bahwa proyek triliunan rupiah ini berpotensi jadi beban negara bila tak segera diperbaiki dari akar manajerial dan integritasnya," kata Iskandar.
Pasca-serangan ransomware Brain Cipher (LockBit 3.0) yang melumpuhkan Pusat Data Nasional (PDN) pada 2024, isu keamanan siber kembali mengemuka. Menurut Iskandar, Coretax semestinya menjadi garda depan dalam memperkuat ketahanan fiskal digital Indonesia.
| Polemik Dana Mengendap, Pengamat Uninus: BLUD Punya Fleksibilitas, Tapi Tetap Uang Publik |
|
|---|
| Bantah Menkeu Purbaya, Dedi Mulyadi Pastikan Tak Ada Duit Pemprov Jabar Rp 4,1 T yang Didepositokan |
|
|---|
| ''Jangan Pak Dedi Nyuruh Saya Kerja,'' Menkeu Purbaya Jawab Bantahan KDM soal Dana Rp 4,1 T di Bank |
|
|---|
| Purbaya vs Dedi Mulyadi soal Dana Rp 4,1 T di Bank, Gubernur Bantah, Menkeu Sebut KDM Dikibuli |
|
|---|
| Dedi Mulyadi Akan Langsung Pecat Pegawai Pemprov Jabar yang Diam-diam Buat Deposito dari Duit Negara |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.