PPDB 2023

PPDB 2023, Sistem Zonasi Harus Dievaluasi, Ratusan Kecamatan di Jabar Tak Punya SMA Negeri

Kasus tidak lolosnya semua lulusan SMP di satu desa karena tak masuk dalam zonasi SMA negeri terdekat diduga terjadi di Kecamatan Kalijati, Subang.

Tribun Jabar/Ahya Nurdin
Puluhan Orang tua Siswa menggeruduk SMAN 1 Kalijati, minta anaknya bisa sekolah di SMAN 1 Kalijati, Subang yang lokasinya dekat dengan tempat tinggal mereka, Selasa (11/7/2023) 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kasus tidak lolosnya semua lulusan SMP di satu desa karena tak masuk dalam zonasi SMA negeri terdekat diduga terjadi di Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang.

Wakil Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat, Abdul Hadi Wijaya, mengatakan kecamatan yang kekurangan SMA dan SMK di Jabar, bukan hanya Kalijati saja, namun ada di ratusan kecamatan lain.

Tak hanya kurang, sebanyak 130 dari 620 kecamatan di Jabar bahkan sama sekali belum memiliki SMA dan SMK negeri.

"Ini sangat menyentuh hati, kami memohon maaf," ujar Abdul Hadi, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (12/7).

Baca juga: Se-Kecamatan Tapi Tak Masuk Zonasi, Disdik Janji Fasilitasi 39 Anak yang Tak Masuk SMAN 1 Kalijati

"Inilah kondisi keterbatasan yang ada sampai saat ini. Sekali lagi saya minta maaf belum bisa menuntaskan masalah ini," tambahnya.

Abdul Hadi mengaku tengah berupaya mendorong pemerintah Provinsi Jabar agar ke depan ada solusi dengan mengubah cara berpikir untuk penambahan sekolah negeri.

Menurutnya, kesulitan terbesar untuk membangun sekolah negeri, SMA dan SMK itu adalah masalah lahan. Syarat untuk SMA itu, kata dia, harus ada lahan 6.500 meter persegi dan SMK sekitar satu hektare.

"Artinya kalau ini harus beli tanah, maka Pemprov itu tidak akan sanggup, kita cuma punya alokasi untuk SMA itu sekitar Rp 125 miliar pada tahun lalu. Artinya, kan untuk beli tanah khususnya di daerah yang padat itu tanahnya mahal, ini kita harus keluar dari lingkaran setan ini," katanya.

Puluhan Orang tua Siswa menggeruduk SMAN 1 Kalijati, minta anaknya bisa sekolah di SMAN 1 Kalijati, Subang yang lokasinya dekat dengan tempat tinggal mereka, Selasa (11/7/2023)
Puluhan Orang tua Siswa menggeruduk SMAN 1 Kalijati, minta anaknya bisa sekolah di SMAN 1 Kalijati, Subang yang lokasinya dekat dengan tempat tinggal mereka, Selasa (11/7/2023) (Tribun Jabar/Ahya Nurdin)

Solusinya, kata Abdul Hadi, bisa kolaborasi lewat Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa yang bisa mengakses semua desa.

"Tanah yang aset desa itu, sangat mungkin untuk difungsikan untuk bersertifikasi dinas pendidikan cq SMA Negeri setempat, ketika itu sudah ada sertifikatnya, maka di situ pemerintah Provinsi Jabar bisa bergerak cepat untuk membangun unit sekolah barunya, selama ini terkendala dengan tanah, harus beli," katanya.

Jadi, kata dia, untuk pengadaan sekolah baru harus ada dua kali anggaran. Tahun pertama membeli tanah, kedua untuk membangun sarana prasarananya.

Selain itu, perlu juga terobosan agar kota/kabupaten mempermudah pengalihan aset-aset. Baik itu dalam bentuk hibah atau tukar guling dari kota/kabupaten kepada provinsi untuk dibangun sekolah.

"Kalau tidak begitu, bisa puluhan tahun terus terjadi, seperti Kalijati ini sudah banyak sekali, kita selesaikan satu-satu juga akan lama sekali," ucapnya.

Abdul Hadi mengatakan, jika setiap tahunnya pemerintah hanya mampu menambah kurang dari 10 sekolah baru.

"Kalau 130 [Kecamatan] mau diselesaikan dengan setahun 5 [sekolah baru], berartikan butuh 26 tahun karena polanya, tahun ini harus beli tanah, tahun depan bangun, alokasi anggarannya terbatas, itu yang terjadi hari ini," katanya.

Sebelumnya diberitakan, semua lulusan SMP di Desa Banggala Mulya, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang terancam putus sekolah karena desa mereka tak masuk dalam zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SMA negeri terdekat di Kalijati.

SMA Negeri terdekat dari Desa Banggala Mulya adalah SMAN 1 Kalijati. Tahun ini ada 39 lulusan SMP di Banggala Mulya yang mendaftar melalui sistem zonasi ke SMA Negeri tersebut. Tak satu pun diterima.

Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat, Wahyu Mijaya mengaku masih mencari solusi untuk masalah di Kalijati tersebut.

Namun, pada prinsipnya, kata Wahyu, semua wilayah di Kecamatan Kalijati, tak terkecuali Desa Banggala Mulya, masuk dalam sistem zonasi SMAN 1 Kalijati.

Hanya saja, banyak warga ternyata lebih dekat rumahnya dengan sekolah tersebut dibanding warga Desa Banggala Mulya.

"Jadi, sekalipun sistem zonasinya masuk, karena yang di bagian dekat sekolah itu lebih banyak, makanya yang agak jauh tersebut itu tidak masuk ke sekolah Kalijati itu," katanya.

Terkait dugaan kecurangan seperti yang disinyalir para orang tua siswa di Desa Banggala Mulya, Wahyu meminta warga untuk melaporkan datanya untuk dicek secara langsung.

"Tapi saya yakinkan kalau [jarak rumahnya] lebih jauh, tidak akan masuk (sistem zonasi)," ujarnya.

Kadisdikbud Subang, Tatang Komara, mengatakan, sekalipun ini kewenangannya ada di Disdik Jabar, Disdik Kabupaten Subang akan berusaha memperjuangkan agar anak-anak di Desa Banggala Mulya tersebut bisa sekolah ke SMAN 1 Kalijati.

"Kami Disdik Subang tak akan tinggal diam," ujar Tatang.

Harus Dievaluasi

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI), Furqan AMC, mengatakan sistem zonasi PPDB harus dievaluasi total.

"Alih-alih untuk pemerataan pendidikan, yang terjadi malah sistem Zonasi PPDB mendiskriminasi dan menumbuhkan budaya negatif yang merusak," ujar Furqan dalam rilisnya, Rabu (12/7).

Menurut Furqan sistem zonasi PPDB mendiskriminasi calon siswa yang seharusnya dijamin hak pendidikannya oleh konstitusi, hanya karena letak rumah yang tak masuk zonasi. Sudah dapat diduga anak-anak desa atau pinggiran kota akan kesulitan mengakses sekolah negeri yang lebih bermutu yang biasanya ada di tengah kota.

Sistem zonasi telah menyuburkan praktek pemalsuan dokumen, pungli dan percaloan dalam PPDB.

Salah satunya seperti terjadi di SMA Negeri 8 Pekanbaru, Riau beberapa hari lalu.

"Kasus penemuan 31 KK bodong calon siswa di SMA 8 Negeri Pekanbaru hanyalah puncak gunung es yang terungkap. Besar dugaannya praktek pemalsuan KK tersebut terjadi jamak di semua kota dan kabupaten di seluruh Indonesia," ujar Furqan.

Terbukti, di Kota Bogor, Wali Kota Bima Arya juga menemukan adanya 155 pendaftar PPDB yang tidak sesuai domisilinya dengan yang tercatat pada Kartu Keluarga (KK).

"Ini budaya negatif dalam pendidikan yang dapat merusak basis moral si anak. Berbohong jadi dianggap biasa," tegas Furqan yang juga aktivis 98 ini.

Menurut Furqan, sistem zonasi PPDB telah mendorong praktek jual-beli KK, yang juga bisa mengganggu tertib data Dukcapil setempat.(nazmi abdurahman/ahya nurdin/tiah sm)

Artikel TribunJabar.id lainnya bisa disimak di GoogleNews.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved