Cacing Afrika 'Eudrilus eugeniae': Pahlawan Kecil Pengurai Sampah Organik Bernilai Jual Tinggi
Menurut Sapto, cacing lebih unggul dibanding maggot karena proses penguraiannya lebih stabil
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - BAGI kebanyakan orang, cacing mungkin hanya hewan kecil yang berlendir dan sering dihindari.
Tapi bagi Sapto Prajogo, Dosen Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Bandung, sekaligus Ketua Municipal Solid Waste Research Group cacing justru menjadi pintu masuk menuju dunia riset yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dari perut bumi, hewan mungil itu memberinya inspirasi untuk meneliti pengelolaan sampah secara lebih alami dan berkelanjutan.
Cacing yang dihadirkan tak sembarang cacing, ialah kascing atau pupuk organik yang terbentuk dari sisa-sisa bahan organik yang dicerna oleh cacing tanah.
Teksturnya lembut, berbau tanah segar, dan mengandung unsur hara yang sangat baik untuk memperbaiki kesuburan tanah.
Salah satu jenis cacing yang banyak digunakan untuk menghasilkan kascing adalah Eudrilus eugeniae, atau dikenal juga sebagai African nightcrawler.
Baca juga: Miris, Balita di Seluma Bengkulu Muntahkan Cacing dari Mulut, Ingatkan Kasus Raya Sukabumi
Cacing ini berasal dari Afrika, tetapi sudah lama dibudidayakan di berbagai negara tropis, termasuk Indonesia, karena kemampuannya mengurai sampah organik dengan cepat.
Dalam sehari, kata Sapto, seekor Eudrilus eugeniae bisa memakan sampah organik seberat dua hingga tiga kali bobot tubuhnya.
Selain itu, cacing ini juga mudah berkembang biak, sehingga hasil kascing yang dihasilkan pun lebih banyak dan berkualitas tinggi.
Tidak heran jika banyak petani dan penggiat lingkungan menyebutnya sebagai “pahlawan kecil” dalam pengelolaan sampah organik.
Sapto menyebutnya detrivora pengurai alami yang memakan materi organik, mengolahnya, dan mengembalikannya ke tanah dalam bentuk pupuk cair alami bernilai tinggi.
“Kalau maggot itu pilih-pilih makanan. Cacing enggak. Apapun dimakan. Yang penting sampahnya bersih, tidak terkontaminasi. Karena begitu tercampur racun, selesai sudah. Semua jadi berbahaya," kata dia, Sabtu (25/10/2025).
Menurut Sapto, cacing lebih unggul dibanding maggot karena proses penguraiannya lebih stabil dan hasil akhirnya berupa kompos yang siap pakai tanpa menimbulkan bau menyengat.
Ia memilih jenis cacing Afrika, yang menurutnya lebih tahan hidup di iklim tropis dan mudah dikembangbiakkan.
Cacing jenis ini bekerja di suhu yang lebih rendah dan bisa hidup di lingkungan yang lebih lembap, sehingga cocok diterapkan di skala rumah tangga.
| Mahasiswa JTK Polban Luncurkan Surverior: Platform Survei Berbasis AI dan Gamifikasi |
|
|---|
| Polban Gelar Community Service Symposium, Tampilkan Inovasi Kreatif Berbasis Alam |
|
|---|
| Pelatihan Operational dan Maintenance Sistem PLTS untuk Masyarakat Desa Pasirlangu |
|
|---|
| Semesta Panen Raya Berdikari Expo 2025, Upaya Polban Dorong Ketahanan Pangan di Jawa Barat |
|
|---|
| Polban Gelar ISSAT 2025: Dorong Kolaborasi Global untuk Teknologi Hijau dan Inovasi Berbasis AI |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.