Respons Bupati Imron soal Perda KTR Cirebon: Bukan Larang Merokok, tapi Atur Ruang Sehat

Bupati Cirebon, Imron, akhirnya memberikan tanggapan resmi atas polemik tersebut. 

Penulis: Eki Yulianto | Editor: Ravianto
eki yulianto/tribun jabar
TATA RUANG PUBLIK - Bupati Cirebon, Imron menegaskan bahwa Perda KTR bukan ditujukan untuk menekan pelaku usaha, namun untuk menata ruang publik agar lebih sehat. 

TRIBUNJABAR.ID, CIREBON - Polemik Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) yang baru saja dilaunching pada 12 November 2025 terus bergulir.

Para pelaku ekonomi kreatif dan usaha reklame di Cirebon mengaku resah karena sejumlah pasal dinilai dapat melemahkan sektor periklanan, terutama terkait pelarangan iklan rokok pada radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

Keresahan itu muncul setelah pelaku kreatif menilai bahwa pasal-pasal pelarangan iklan, promosi dan sponsorship rokok dalam Ranperda KTR berpotensi memukul sektor reklame yang selama ini menjadi salah satu motor Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Muchtar Kusuma, pelaku usaha reklame di Kabupaten Cirebon mengatakan, bahwa selama ini pemerintah daerah justru menarget sektor reklame untuk meningkatkan pemasukan daerah.

“Kami sempat dilibatkan dalam paparan Renstra 2025–2029."

"Target PAD untuk reklame mencapai Rp 6,7 miliar atau naik Rp 500 juta per tahun,” ujar Muchtar, Sabtu (15/11/2025).

Baca juga: Pelaku Ekraf Keluhkan Perda KTR di Cirebon, Disebut Terlalu Mengekang, Imron Beri Penjelasan

Namun, menurutnya, aturan pelarangan radius 500 meter akan membuat ruang pemasangan reklame semakin sempit.

Titik-titik strategis yang selama ini menopang pendapatan pelaku usaha dinilai akan banyak yang gugur.

Tanggapan Bupati

Bupati Cirebon, Imron, akhirnya memberikan tanggapan resmi atas polemik tersebut. 

Ia menegaskan, bahwa Perda KTR bukan ditujukan untuk menekan pelaku usaha, namun untuk menata ruang publik agar lebih sehat.

“Kami memastikan fokus rancangan aturan tersebut adalah pelarangan di delapan lokasi,” ucap Imron.

Ia menjelaskan, bahwa delapan lokasi yang sepenuhnya dilarang untuk merokok, ialah
tempat umum, fasilitas pendidikan, perkantoran, rumah ibadah, taman bermain anak, fasilitas kesehatan dan angkutan umum.

Bukan Melarang tapi Mengarahkan di Ruang Khusus

Perda KTR, tegas Imron, tidak melarang masyarakat merokok sepenuhnya.

Hanya saja warga diarahkan merokok di ruang khusus yang telah ditentukan.

“Perda KTR ini bukan melarang masyarakat merokok sepenuhnya, tetapi menata agar warga merokok di lokasi khusus sehingga tidak mengganggu orang lain."

“Tujuannya agar orang yang tidak merokok bisa merasa aman dan nyaman."

"Ini bukan untuk melarang, tetapi mengatur supaya tidak merugikan orang lain," jelas dia.

Keberatan Pelaku Media

Di sisi lain, suara keberatan juga datang dari pelaku media kreatif Jawa Barat.

Mohamad Ade Syafei, yang akrab disapa Kang Ijul menilai, bahwa industri hasil tembakau (IHT) sudah dikelilingi banyak regulasi. 

Ia khawatir pengetatan lewat Perda KTR justru menghambat laju industri periklanan yang selama ini menjadi rumah bagi banyak pekerja.

"Kami menilai industri hasil tembakau (IHT), termasuk di dalamnya sektor ekonomi kreatif, telah dikelilingi banyak aturannya,” kata Ijul.

Ijul memenjelaskan, bahwa kontribusi sektor periklanan terhadap ekonomi lokal sangat besar, baik dari sisi pemasukan daerah maupun penyerapan tenaga kerja.

“Regulasi yang terlalu ketat akan berdampak pada periklanan."

"Padahal selama ini sektor periklanan taat pada aturan dan etika pariwara yang sangat ketat."

“Industri periklanan adalah rumah bagi banyak pekerja."

"Tentu harapannya, regulasinya harus mempertimbangkan sektor periklanan," ujarnya.

Menurutnya, setelah pandemi Covid-19 industri periklanan, khususnya out of home (OOH) mengalami kenaikan signifikan dan mampu bertahan.

Aturan radius dalam Perda KTR dikhawatirkan akan mengubah lanskap industri secara besar-besaran.

“Iklan dan reklame itu berkaitan erat dengan visibilitas."

"Ketika ada pelarangan radius, pelaku usaha dan pekerja akan kesulitan."

“Harapannya, regulasi yang disusun itu harus mempertimbangkan dampak sosial ekonomi."

"Karena sektor periklanan menjadi tempat menggantungkan hidup bagi para pekerja. Domino effect-nya besar," ucap Ijul.(*)

Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved