Pemuda Ansor Jabar Bicara Soal Pahlawan Nasional dan Ideologi di Tengah Derasnya Dunia Digital

Peranan penting mahasiswa dan santri sebagai kelompok intelektual dinilai memiliki kemampuan untuk melanjutkan warisan pemikiran para kiai.

GP Ansor Jabar
Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat menginisiasi sebuah forum dialog terbuka bertajuk "Sosok Pahlawan di Mata Generasi ; Dari Masa lalu Hingga Masa Kini" pada Selasa malam (18/11/2025). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Di tengah derasnya dinamika informasi digital yang terus bergerak cepat dan tantangan ideologis yang semakin berlapis, Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat menginisiasi sebuah forum dialog terbuka bertajuk "Sosok Pahlawan di Mata Generasi ; Dari Masa lalu Hingga Masa Kini" pada Selasa malam (18/11/2025).

Agenda tersebut digelar sebagai bentuk respons terhadap keputusan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menetapkan dua tokoh besar Nahdlatul Ulama, KH Muhammad Kholil Bangkalan dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai Pahlawan Nasional, sebuah penetapan yang mengundang perhatian luas dari kalangan NU.

Kasatkorwil Banser GP Ansor Jawa Barat, Yudi Nurcahyadi, menekankan bahwa keputusan tersebut bukanlah sekadar tanda penghormatan, melainkan peluang penting untuk merevitalisasi nilai perjuangan para tokoh itu dalam konteks kehidupan saat ini.

“Kalau dulu pahlawan mengangkat senjata, maka hari ini tugas kita adalah menjaga pemikiran. Menjaga toleransi, menjaga keberagaman, dan menjaga Indonesia dari ancaman ideologi yang bertentangan dengan semangat kebangsaan,” ujar Yudi disela sela kegiatan diskusi terbuka itu.

Dalam forum yang dihadiri para kader muda NU dari berbagai kabupaten dan kota di Jawa Barat tersebut, Yudi kembali menggarisbawahi perlunya penanaman nilai-nilai Aswaja sebagai ajaran Islam moderat yang telah menjadi dasar NU sejak masa para pendiri. Ia menilai Syaikhona Kholil dan Gus Dur adalah representasi nyata betapa sikap toleran mampu menjadi kekuatan perekat bangsa.

“Negara kita ini majemuk. Kalau generasi muda tidak memahami pentingnya toleransi, maka ancamannya sangat nyata. Dunia digital hari ini penuh kebebasan, tanpa saringan, ini bisa jadi bumerang,” tegasnya.

Selain itu, Yudi menyinggung peranan penting mahasiswa dan santri yang disebutnya sebagai kelompok intelektual yang memiliki kemampuan untuk melanjutkan warisan pemikiran para kiai.

Menurutnya, jangkauan nilai-nilai ke-NU-an perlu diperluas, tidak hanya bertumpu di lingkungan pesantren, tetapi juga berkembang di ruang kampus dan praktik kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Pesan-pesan kiai harus bisa ditransformasikan ke dalam ruang akademik. Nasionalisme dan keagamaan itu tidak bisa dipisahkan. Keduanya harus dijaga bersama,” ungkapnya.

Harapan Yudi mengarah pada lestarinya nilai Aswaja yang mengedepankan tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan tawassuth (moderat), sehingga dapat terus beradaptasi dengan perubahan zaman dan tetap menjadi pedoman generasi muda.

“Pahlawan hari ini adalah mereka yang menjaga pikiran. Yang tidak membiarkan generasi muda tercemar oleh ideologi-ideologi yang ingin memecah belah bangsa karena NKRI Harga mati,” pungkasnya.

Di sisi lain, perbincangan juga menyentuh polemik mengenai gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto. Founder Logika Filsuf, Baihaqqi Addahil, yang turut menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, mengajak masyarakat untuk lebih jernih melihat persoalan tersebut. Menurutnya, dinamika opini warganet merupakan bagian dari realitas sosial yang perlu diperhatikan.

"Survei yang saya lakukan di media sosial, menyatakan 52 persen netizen setuju terhadap gelar pahlawan untuk Soeharto. Ini tidak bisa kita abaikan sebagai bagian dari realitas kehidupan sehari-hari kita," pungkas Baihaqqi.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved