"Kopi Gembukan Kompeni": Menelusuri Jejak Kolonial dan Getir Petani di Balik Secangkir Kopi Priangan
Kopi tak hanya dibahas sebagai minuman. Ia hadir sebagai saksi sejarah, hingga penggerak Revolusi Prancis dan kini jadi pendamping obrolan.
Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Aroma biji sangrai di Jack Runners Roastery, menyatu dengan percakapan para pengunjung yang tak hanya datang untuk ngopi, tetapi untuk menelusuri kisah panjang kopi yang tumbuh bersama sejarah Priangan.
Dalam acara bertajuk “Kopi Gembukan Kompeni, dan Kecanduan Nan Hakiki”, acara ini sendiri merupakan kolaborasi lintas komunitas, Bandoeng Waktoe Itoe, Sugar Beat, Deadly Beans Coffee, hingga Jack Runners Roastery yang selama ini dikenal dekat dengan dunia musik dan kopi.
Namun kali ini, mereka memilih jalur berbeda, mengajak masyarakat menelusuri sejarah kopi yang tak pernah benar-benar lepas dari kehidupan sehari-hari.
“Biasanya orang ngopi itu cuma ikut tren. Tapi sore ini lebih hangat, karena kita bicara kopi dari zaman dulu, ke akar rumputnya,” kata Ojel Sansan Yusandi, perwakilan dari komunitas Bandoeng Waktoe Itoe (BWI), saat ditemui di Jalan Panaitan No 34, Kota Bandung, Sabtu (15/11/2025) malam.
Ia menuturkan, kopi pertama kali hadir di Priangan pada masa kolonial. Bagaimana BPC (Badan Pengelola Culturstelsel versi awal) memaksa para bupati di Bandung, Parakanmuncang, Cianjur, dan wilayah lain menanam kopi sebuah kewajiban yang kemudian mengalir turun menjadi beban rakyat.
“Mereka disuruh menanam, dibeli memang sama BPC. Tapi rakyat nggak boleh nyicip bijinya. Nggak boleh ngambil. Bekerja saja,” tuturnya.
Dari situ lahirlah tradisi ngopi di tanah Sunda tradisi yang awalnya pahit secara harfiah dan historis.
Kebun-kebun kopi yang masih ada sampai sekarang, kata Ojel, adalah jejak nyata warisan kolonial.
“Itu sisa peninggalan Belanda. Dulu kopi jadi komoditas besar. Dilelang di Amsterdam, lalu menyebar ke Eropa.”
Dia menyebut, kopi tak hanya dibahas sebagai minuman. Ia hadir sebagai saksi sejarah, hingga penggerak Revolusi Prancis dan kini jadi pendamping obrolan santai anak muda.
“Kopi sekarang jadi budaya. Buat curhat, buat rapat, buat ngobrol. Dari warkop sampai kafe, semuanya punya tempat,” ujar Ojel.
Namun ia mengingatkan, di balik secangkir kopi yang kita minum hari ini, ada lekukan sejarah yang sering luput perhatian.
Bagi Ojel, kopi tetaplah kopi. Tapi mengerti peristiwa-peristiwa yang melatari perkembangannya membuat setiap tegukan terasa lebih bermakna.
“Kita tuh sudah ngopi bahkan sebelum tahu sejarahnya. Tapi setelah tahu, jadi lebih menghargai," ujarnya.
| Festival Kopi Sukabumi 2025: Bupati Sukabumi Intruksikan Untuk Menggunakan Kopi Lokal Setiap Acara |
|
|---|
| BEM NUS Priangan Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Ingatkan Rentetan Tragedi di Era Orde Baru |
|
|---|
| Kopi Jue, Membawa 'Napas' Vietnam di Pinggir Taman Cibeunying Kota Bandung |
|
|---|
| Kisah Ryan Wibawa, dari Barista Part Time hingga Raih Juara Dunia di Amerika Serikat |
|
|---|
| Antara Skripsi dan Espresso: Kisah Rizki Menyeduh Kesempatan dari Biji Kopi, Bantu Petani Naik Kelas |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/Tempat-Ngopi-Modern-di-Jalan-Panaitan-No-3.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.