Manajemen Pertahanan Global: Belajar dari Devil’s Interval

Dunia tidak sedang menuju harmoni; dunia sedang bermain dalam skala disonan. Tugas kita bukan menolak perubahan, tetapi mengelolanya. 

dokumen pribadi
Kolonel Tek. Dr. Ir. Hikmat Zakky Almubaroq, S.Pd., M.Si. (Kepala Program Studi S2 Manajemen Pertahanan, Universitas Pertahanan Republik Indonesia) 

Seperti halnya tritone memberi sinyal perubahan harmoni dalam musik, krisis dan gesekan geopolitik memberi kita suatu tanda tentang arah transformasi global. Dalam musik, tritone (atau Devil’s Interval) dianggap “tidak enak didengar” karena menciptakan rasa tidak stabil, biasanya “diresolusikan” menuju nada yang lebih stabil. 

Namun justru karena ketidakstabilan inilah, tritone menjadi alat untuk menciptakan transisi menuju harmoni baru. Begitu pula dengan geopolitik: krisis dan konflik adalah tanda bahwa sistem internasional sedang bergeser. Dengan kata lain:  

“Ketika dunia terasa tidak harmonis, itu berarti dunia sedang menulis lagu baru.”  

Dalam teori geopolitik kontemporer, Parag Khanna menyebut dunia saat ini sebagai “a chaotic, multipolar world” (Khanna, Connectography, 2016). Dunia tidak lagi diatur oleh harmoni dua kutub besar, tetapi oleh ratusan node yang saling bersinggungan dalam relasi kompleks.

2. Persepsi lebih berbahaya daripada realitas.  

Sama seperti disonansi tritone muncul karena interpretasi pendengar, konflik sering muncul bukan karena kekuatan nyata, tapi karena persepsi ancaman. Negara-negara yang merasa "terancam" cenderung mengambil langkah preventif yang justru memperburuk keadaan. Kita perlu memahami peta persepsi, bukan hanya peta kekuatan. 

Contohnya, Ketika Amerika Serikat menginvasi Irak tahun 2003 berdasarkan persepsi bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, yang pada akhirnya terbukti tidak ada, dan ini justru memicu destabilisasi jangka panjang. 

Menurut studi Harvard Belfer Center (2023), lebih dari 40 persen konflik bersenjata dalam dua dekade terakhir dipicu oleh "strategic misperception", bukan ancaman nyata. Ketidakmampuan membedakan antara signal dan noise telah membawa banyak negara ke dalam konflik yang seharusnya bisa dihindari.

3. Inovasi tumbuh dari ketidaknyamanan.  

Banyak inovasi dalam sejarah militer justru lahir dari kondisi krisis dan tekanan. Namun hari ini, kita cenderung membangun sistem pertahanan yang terlalu nyaman dalam zona regulasi, bukan zona adaptasi. Disonansi seharusnya dimanfaatkan sebagai pemicuan inovasi strategis, baik dari sisi teknologi, organisasi, maupun taktik. 

Seperti yang ditulis oleh Peter W. Singer dalam Ghost Fleet (2015), “perang masa depan tidak akan dimenangkan oleh kekuatan besar, tetapi oleh yang paling adaptif dalam menghadapi disrupsi teknologi.” Ini memperkuat pentingnya kemampuan beradaptasi dalam menghadapi disonansi strategis.

Menuju Manajemen Disonansi

Manajemen pertahanan masa depan harus didesain bukan hanya untuk meredakan konflik, tapi untuk mengelola ketegangan secara produktif. Sama seperti musisi menggunakan tritone untuk menciptakan atmosfer emosional, negara harus mampu menciptakan fleksibilitas dalam menghadapi disonansi global.

Beberapa langkah konkret:

Membangun “radar disonansi geopolitik”. Indonesia membutuhkan pusat-pusat pemantauan yang tak hanya melihat konflik aktual, tetapi memetakan friksi tersembunyi, ketegangan yang tak terlihat oleh media arus utama, tetapi dapat menjadi ancaman laten.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved