Reaksi HLKI Soal Temuan Banyak Merek Beras Oplosan, Firman: Bukti Lemahnya Pengawasan Pemerintah

Temuan 212 merek beras yang diduga sebagai beras oplosan mencerminkan betapa rapuhnya perlindungan konsumen di Indonesia.

Penulis: Nappisah | Editor: Kemal Setia Permana
istimewa
BEAS OPLOSAN - Ketua Umum Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar–Banten–DKI, Firman Tumantara Endipradja. Firman memberikan reaksi soal adanya dugaan ratusan merk beras oplosan.   

Pelaku Bisa Dikenai 6 Undang-undang

Firman menambahkan, pelaku usaha dalam kasus ini sudah bisa dikenai sanksi pidana karena unsur kesengajaan dan perencanaan. 

Ia menilai kasus ini termasuk delik umum, sehingga aparat penegak hukum tidak perlu menunggu laporan dari masyarakat untuk memulai penyidikan.

“Ini bukan delik aduan. Polisi bisa langsung proses. Bahkan menurut KUHP, kejahatan yang dilakukan secara terencana memiliki ancaman pidana yang lebih berat,” ujarnya.

Firman menjelaskan, ada lima hingga enam undang-undang yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku, yakni: UU Perlindungan Konsumen, UU Pangan, UU Perdagangan, UU Metrologi Legal (tentang takaran/timbangan), UU tentang Standar Kelayakan Produk, KUHP (untuk unsur perencanaan dan penipuan). 

“Pelanggaran terhadap Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen saja, sanksinya maksimal 5 tahun penjara atau denda Rp2 miliar. Itu belum termasuk sanksi perdata dan administratif seperti pencabutan izin,” ujar Firman.

Menurut Firman, pasal 63 huruf F dalam UU Perlindungan Konsumen memungkinkan penerapan tiga jenis sanksi secara bersamaan: pidana, perdata (ganti rugi/kompensasi), dan pencabutan izin usaha.

Firman menilai skandal demi skandal dalam sektor pangan memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap negara. 

Ia menyayangkan minimnya inisiatif pemerintah untuk mendengarkan lembaga-lembaga perlindungan konsumen, termasuk HLKI dan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) lembaga negara setara KPU dan Komnas HAM.

“Selama dua periode saya menjabat di BPKN, hampir tidak pernah diminta pendapat oleh pemerintah sebelum menaikkan harga BBM atau listrik, atau isu pangan seperti sekarang. Padahal BPKN itu lembaga negara dengan SK dari Presiden,” jelas Firman.

Firman mengingatkan bahwa konsumen tidak boleh terus-terusan menjadi korban. Ia mendorong masyarakat untuk lebih cermat dan kritis dalam memilih produk, serta menuntut transparansi dari pemerintah. Di sisi lain, pemerintah tidak boleh lagi mengabaikan amanat konstitusi. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved