Tradisi Bubur Sura Kampung Kaputren: Warisan Leluhur yang Menyatukan Warga di Bulan Muharram

Komposisi bubur ini terdiri dari bahan-bahan lokal seperti jagung, ubi, kacang kedelai yang dimasak bersama santan, serai, gula, dan garam.

Tribuncirebon.com / Adhim Mubaroq
Setiap memasuki tanggal 10 Muharram, warga di Kampung Kaputren, Desa Putridalem, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, kompak bergotong royong menyiapkan hidangan khas yang hanya dibuat setahun sekali: Bubur Sura. 

Laporan Kontributor: Adim Mubaroq

TRIBUNJAABR.ID, MAJALENGKA – Setiap memasuki tanggal 10 Muharram, suasana di Kampung Kaputren, Desa Putridalem, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, terasa berbeda dari biasanya.

Warga setempat, dari tua hingga muda, kompak bergotong royong menyiapkan hidangan khas yang hanya dibuat setahun sekali: Bubur Sura.

Tradisi yang telah mengakar sejak generasi terdahulu ini menjadi momen penting yang dinantikan, bukan hanya oleh masyarakat setempat, tetapi juga oleh warga dari desa-desa sekitar yang turut merasakan berkahnya.

Tradisi memasak Bubur Sura ini bukan sekadar kegiatan kuliner semata, tetapi sarat makna spiritual dan sejarah.

Warga menyajikan makanan ini sebagai bentuk rasa syukur atas kisah keselamatan Nabi Nuh dari banjir besar yang terjadi pada 10 Muharram, sebuah peristiwa yang menjadi inspirasi utama di balik hidangan ini.

“Kami bikin bubur ini tiap tahun, selalu di tanggal 10 Muharram. Sudah dari zaman orang tua dan nenek saya dulu,” ungkap Carti, yang lebih dikenal dengan sapaan akrab Mak Titi, salah satu tokoh sepuh di kampung tersebut, pada Sabtu (6/7/2025).

Mak Titi menceritakan bahwa kisah Nabi Nuh menjadi pondasi penting yang terus dijaga oleh masyarakat Kaputren.

Menurutnya, dulunya Nabi Nuh membuat makanan dari aneka bahan sisa yang tersisa di kapalnya setelah banjir besar surut. Semangat bertahan dan bersyukur itulah yang kini diabadikan melalui tradisi memasak Bubur Sura setiap tahun.

Untuk tahun ini, antusiasme warga semakin besar. Lebih dari satu kwintal beras disiapkan untuk diolah bersama.

Berbagai bahan lain turut melengkapi adonan bubur seperti jagung, ubi, kacang kedelai, serta aneka bumbu dapur khas yang memperkaya rasa.

Proses memasaknya dilakukan secara massal di dapur umum menggunakan tungku kayu bakar, sebuah cara tradisional yang dipercaya mampu mempercepat masakan sekaligus menjaga kelezatan khasnya.

“Yang bantu masak banyak, belasan orang. Ada yang bawa bahan, ada yang masak, ada juga yang bungkus dan bagi-bagi. Semuanya jalan sendiri, kompak,” ujar Mak Titi.

Proses distribusi dilakukan dengan rapi dan penuh semangat. Setelah bubur matang, warga langsung membagikannya ke seluruh rumah di kampung, bahkan menjangkau desa-desa tetangga.

Tradisi ini tidak hanya menjadi ajang berbagi, tetapi juga sarana mempererat tali silaturahmi dan memperkuat rasa kebersamaan antarwarga.

Sumber: Tribun Cirebon
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved