Kemenkes Harus Libatkan Pihak Terdampak dalam Penyusunan Regulasi Pertembakauan

Kemenkes tidak bisa serta-merta mengadopsi FCTC dalam penyusunan regulasi di Indonesia, terlebih Indonesia tidak meratifikasi perjanjian tersebut.

Tribun Jabar/Kiki Andriana/Arsip
Suasana lomba merajang tembakau pada acara "Aroma Sendja Festival: Merayakan Kejayaan Tembakau Jawa Barat", di Alun-alun Sumedang, Jumat (19/7/2024). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus melibatkan pihak yang terdampak dalam penyusunan Rancangan Peraturan Kesehatan (R-Permenkes) sebagai peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024 tentang kesehatan. 

Sekjen Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (Makpi), Dr Firre An Suprapto mengatakan, saat ini penyusunan menuai polemik karena sarat intervensi asing dengan dengan susupan pasal-pasal Framework Convention on Tobacco Contorl (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang diinisiasi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mendorong diterapkannya kemasan rokok tanpa identitas merek di Indonesia.

Menurutnya, Kemenkes tidak bisa serta-merta mengadopsi FCTC dalam penyusunan regulasi di Indonesia, terlebih Indonesia tidak meratifikasi perjanjian tersebut.

"Kemenkes sebagai inisiator yang mendorong penerapan peraturan tersebut harus berkaca bahwa Indonesia belum meratifikasi FCTC sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum atau peraturan perundangan nasional. Hal ini perlu dilihat dari berbagai sisi. Perlindungan kesehatan juga perlu mempertimbangkan sisi ekonomi, sosial dan lainnya," ujar Firre, Jumat (28/3/2025).
 
Firre yang juga akademisi Fisipol Universitas Negeri Surabaya ini pun mengingatkan bahwa ada pihak yang terdampak dari regulasi yang mengekang. Sehingga pembuat kebijakan harus melibatkan pihak yang terdampak. 

"Kemenkes sebagai lembaga yang akan mengeluarkan regulasi tersebut harus lebih aktif memberikan sosialisasi dengan melibatkan para pihak yang terkena dampak atas kebijakan tersebut. Termasuk dalam Rancangan Permenkes sehingga tidak menimbulkan polemik baru," katanya.

Sementara itu, Anang Zunaedi, Wakil Ketua Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) menyayangkan di tengah kondisi perlambatan ekonomi saat ini, justru semakin kencang dorongan untuk mengimplementasikan regulasi yang menyulitkan masyarakat, seperti larangan jualan rokok dengan jarak 200 meter dari wilayah Kawasan Tanpa Rokok (KTR).  

“Kami sejak awal menolak tegas PP Kesehatan dan aturan teknisnya dalam Rancangan Permenkes karena memberatkan membatasi gerak pedagang," ujar Anang. 

"Pemerintah tolong lah lihat realita di masyarakat. Bagi pedagang kecil, semua peraturan ini memberatkan sekali. Ini bukan sekadar soal kehilangan pendapatan, tapi ancaman tutup usaha, ekonomi keluarga dan masyarakat hancur. Ujungnya bisa lahir konflik sosial,” tambahnya.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved