Pengamat Soroti 2 Pendekatan Berbeda dalam Kasus Skandal Sawit: Seperti Diskon Besar-besaran

Dua kasus besar yang kontras: Buta Palma dan Duta Palma. Satu kasus berujung pada penyitaan, sementara yang lain justru mendapatkan pemutihan

Penulis: Nappisah | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Jabar/ Nappisah
ISKANDAR SITORUS - Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) saat ditemui di Jalan Trunojoyo, Kota Bandung, Jumat (31/1/2025). Kasus alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit ilegal terus menjadi sorotan tajam. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kasus alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit ilegal terus menjadi sorotan tajam. 

Teranyar, dua kasus besar dengan pendekatan yang kontras: Buta Palma dan Duta Palma. Satu kasus berujung pada penyitaan besar-besaran, sementara yang lain justru mendapatkan pemutihan dengan dalih regulasi.

Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkapkan, jika membandingkan skala pelaku dan dampaknya, kasus Buta Palma jauh lebih besar dibandingkan Duta Palma

Kasus Buta Palma melibatkan 2.130 perusahaan yang menggarap sawit ilegal di 23 provinsi. Sebanyak 380 perusahaan di antaranya bahkan telah mengajukan pemutihan untuk sekitar 700 ribu hektare lahan ilegal. 

Baca juga: Sebanyak 12 Warga Karawang Jadi Korban Perdagangan Orang di Perkebunan Sawit Kalimantan

Menariknya, dugaan korupsi dalam proses pemutihan ini mulai mencuat. Di sisi lain, Duta Palma hanya satu perusahaan, yakni PT Duta Palma Group, yang menguasai 37.095 hektare lahan ilegal. Namun, kerugian negara yang terungkap dalam kasus ini jauh lebih besar, mencapai Rp 78 triliun, termasuk pajak, pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dan denda lingkungan.

"Konsekuensinya juga berbeda. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita 200 ribu hektare aset Duta Palma, sebuah langkah hukum yang terkesan tegas. Sebaliknya, Buta Palma justru mendapat "diskon" ilegalitas lewat regulasi yang menguntungkan mereka," katanya, Senin (10/3/2025). 

Dia menjelaskan, seiring dengan diterbitkannya SK 1170/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2023 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menggantikan SK 661/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023 yang sebelumnya sudah disepakati oleh Satgas Sawit. 

Akibatnya, perusahaan sawit ilegal hanya membayar Rp 1,7 triliun, padahal seharusnya Rp 4,8 triliun.

"Ini seperti diskon besar-besaran terhadap pelaku dan entitas korporasi ilegal dalam dugaan kejahatan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit," ujarnya. 

Iskandar menyebut, adanya upaya fraud data di KLHK, sehingga lahan ilegal bisa dianggap legal hanya dengan dokumen izin yang asli tapi palsu.

"Ini tindakan yang sangat jahat," tegasnya. 

Dia menuturkan, peran KLHK dalam kasus Buta Palma patut dipertanyakan. Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan selisih sebesar Rp 3,1 triliun akibat perubahan kebijakan KLHK. 

"Perbedaan mencolok terjadi dalam perhitungan kerugian negara: SK 661 menghitung luas areal terbangun dengan kerugian negara Rp 4,8 triliun, sementara di SK 1170 hanya dihitung area yang berpotensi menjadi tegakan kayu, sehingga kerugian negara turun menjadi Rp 1,7 triliun." 

Dia menjelaskan, perubahan ini dilakukan tanpa koordinasi dengan institusi negara lainnya seperti Satgas atau Kemenko Marves, yang sebelumnya sudah menyepakati SK 661 sebagai dasar perhitungan. 

Hematnya, ini menandakan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang melanggar Pasal 3 UU Tipikor (Penyalahgunaan Wewenang) dan Pasal 20 UU Perbendaharaan Negara (Kelalaian Mengamankan Pendapatan Negara). Hal ini sedang diproses secara hukum.

Baca juga: Miris, 4 Santri di Duren Sawit Dicabuli Pemilik Pesantren, Terkuak Modus Pelaku Tipu Daya Korban

 "Idealnya, 2.130 korporasi itu harus diproses seperti Duta Palma, Jika kebijakan baru muncul, itu hal yang berbeda dari sekedar administratif," ujarnya. 

Sementara itu, di kasus Duta Palma, manipulasi izin yang digunakan perusahaan dapat dijerat dengan Pasal 12 UU Pencegahan Perusakan Hutan (Alih Fungsi Hutan Tanpa Izin) dan Pasal 2 UU Tipikor (Merugikan Keuangan Negara).

"Jika dilakukan audit forensik yang mengungkap kejahatan lingkungan dan keuangan menggunakan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) oleh BPK atau BPKP, maka potensi kejahatan terkait manipulasi pemutihan dalam kasus Buta Palma dapat ditemukan," tuturnya. 

Beberapa potensi yang muncul, lanjutnya, meliputi selisih perhitungan PNBP yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

"Sebelumnya disebutkan potensi awal PNBP sebesar Rp 4,8 triliun, namun KLHK hanya mencatat Rp 1,7 triliun setelah perubahan metode perhitungan dalam SK 1170. Selisih Rp 3,1 triliun ini berpotensi masuk dalam kategori penyimpangan kebijakan dan maladministrasi," katanya. 

Kemudian, penyalahgunaan wewenang dalam perubahan kebijakan dapat terendus melalui investigasi yang menelusuri siapa yang memutuskan penerbitan SK 1170. 

"Pemeriksaan komunikasi antara KLHK dan perusahaan sawit bisa mengungkap apakah ada indikasi persekongkolan atau kepentingan tertentu," katanya. 

Selanjutnya, identifikasi keruguan negara melalui audit yang dapat merekomendasikan pengembalian metode perhitungan ke SK 661 untuk mendapatkan jumlah pajak dan denda yang lebih akurat. 

"Perusahaan yang telah membayar berdasarkan SK 1170 dapat diminta untuk membayar kekurangan sesuai aturan yang seharusnya," katanya. 

Kemudian, potensi tindak pidana dan rekomendasi penegakan hukum jika perubahan kebijakan dilakukan dengan niat merugikan negara. 

"Kejagung atau KPK perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut, dan pejabat yang terlibat bisa dijerat dengan Pasal 3 UU Tipikor (Penyalahgunaan Wewenang) serta Pasal 5, 11, atau 12 UU Tipikor (Gratifikasi dan Suap)," jelasnya. 

Menurutnya, tanpa transparansi dalam regulasi dan perizinan berbasis teknologi geospasial, mafia sawit akan terus merugikan negara dan merusak lingkungan.

"Jika ingin menegakkan hukum, jangan ada kompromi dalam penyelesaian kasus seperti ini. Hindari sekadar retorika, cari cara sah dan elegan untuk menghukum 2.130 perusahaan itu dengan denda yang adil kepada negara," tambah Iskandar. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved