Pengamat Politik Unpar Analisa Putusan MK Terkait Hasil Pilpres 2024, Putusan Hakim Bisa Terbelah 

Berbagai hipotesis atau dugaan tentu bisa saja berkembang dan masing-masing hipotesis itu memiliki dasar asumsinya masing-masing.

Tangkapan layar Narasi
Paslon nomor 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/3/2024). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengamat politik Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Kristian Widya Wicaksono, menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi yang akan diumumkan besok terkait hasil pemilihan presiden 2024.

Menurut Kristian Widya Wicaksono, berbagai hipotesis atau dugaan tentu bisa saja berkembang dan masing-masing hipotesis itu memiliki dasar asumsinya masing-masing.

"Pertama, MK menolak gugatan yang disampaikan para pemohon dengan dasar penolakannya ialah lemahnya bukti-bukti yang diajukan para pemohon, misal keberatan terhadap pencalonan Gibran, maka harusnya kubu 01 dan 03 mengajukan sengketa proses ke Bawaslu," katanya, Minggu (21/4/2024) saat dihubungi.

Kemudian, soal keterlibatan menteri dalam memenangkan Prabowo-Gibran, kata Kristian, semestinya dilaporkan ke Bawaslu berdasarkan Pasal 547 UU Nomor 7 Tahun 2017, namun faktanya tidak pernah dilaporkan oleh paslon 01 dan 03. 

"Kubu 01 dan 03 tidak menjadikan sengketa hasil penghitungan pemilu sebagai pintu masuk ke dalam perkara ini, padahal pada sengketa pilpres sebelumnya dari 2004, 2009, 2014, dan 2019, semua pemohon memasukkan dalil sengketa penghitungan hasil pemilu," ujarnya.

Alasan lain, lanjutnya, mengarah pada dampak yang mungkin muncul, yaitu untuk instabilitas politik dan inefisiensi biaya penyelenggaraan pilpres ulang. Alasan stabilitas politik bisa dipahami untuk menjaga keamanan nasional yang mana pilpres ulang akan menaikkan kembali tensi kompetisi politik yang rentan dengan gesekan antarkelompok pendukung masing-masing capres.

"Pilpres ulang juga dapat memunculkan pertanyaan di benak masyarakat dan pelaku pasar baik di lingkup domestik maupun internasional tentang kredibilitas lembaga penyelenggara (KPU) dan penyelenggaraan pilpres itu sendiri. Bagaimana pun keputusan yang sudah dibuat dan disahkan yang kemudian hari digugurkan menunjukkan inkonsistensi dan lemahnya kredibilitas, dan ini bisa menciptakan sentimen negatif terhadap KPU, Bawaslu, dan Pemerintah RI yang tidak mampu menjaga pemilu terselenggara secara bebas, jujur, dan adil," katanya.

Jika sentimen negatif datang dari masyarakat, Kristian melihat bakal berimbas pada delegitimasi, gangguan politik, dan bisa berujung pada instabilitas politik. Sedangkan, apabila sentimen negatif tersebut datang dari pelaku pasar, maka akan mempengaruhi nilai tukar rupiah, kepercayaan untuk berinvestasi, penarikan investasi, PHK, dan berujung pada melemahnya perekonomian nasional. 

"Ujung-ujungnya kedua jenis sentimen tersebut akan menghasilkan dampak instabilitas keamanan yang bisa mengakibatkan kekacauan sosial. Kemudian, terkait dengan inefisiensi anggaran pemilu. Apabila terjadi pilpres ulang maka harus dianggarkan kembali biaya pilpres secara nasional yang komponennya cukup beragam, mulai logistik pemilu, seperti kertas suara, tinta pemilu, sewa tenda untuk pemungutan suara, dan distribusi logistik hingga honorarium untuk PPS," ucapnya.

Padahal, sebelumnya biaya-biaya tersebut sudah dikeluarkan melalui APBN. Sedangkan kondisi ekonomi secara nasional juga belum sepenuhnya normal pascapandemi COVID-19. Artinya, kata dia, apabila biaya pilpres ulang ini digunakan untuk program pemulihan ekonomi masyarakat tentunya akan jauh lebih produktif. 

"Perlu memperhitungkan kerumitan dalam menentukan jadwal pilpres ulang yang bisa jadi penyelenggaraannya butuh lebih dari satu putaran. Di sisi lain pelantikan presiden baru sudah ditetapkan pada tanggal 20 Oktober 2024," katanya.

Hipotesis kedua, Kristian menyebut MK menerima gugatan yang disampaikan oleh para pemohon. Dasar alasan menerima gugatan ini, tentunya untuk menciptakan keadilan politik. 

"Ada tiga pokok persoalan utama dalam sidang sengketa pilpres, yaitu: (1) Cacat formil penetapan Gibran sebagai Cawapres Prabowo oleh KPU, (2) Penyelewengan Bansos untuk memenangkan Paslon 2, dan (3) Pengerahan aparatur negara untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Ketiga pokok persoalan tersebut, yang intens dibahas dalam sidang MK adalah pokok masalah pertama dan kedua," ucapnya.

Untuk pokok permasalahan yang ketiga, selama sidang MK juga belum ada bukti yang meyakinkan mengenai mobilisasi aparatur negara untuk mendukung paslon 02, maka yang paling memungkinkan jika keputusannya mengabulkan permohonan, maka landasan alasan yang paling kuat ialah terjad

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved