Vaksin Covid-19 yang Ada Saat Ini Hanya Mempan Sampai 2 Tahun, Harus Ganti Lagi, Ini Alasannya
Vaksin Covid-19 yang ada saat ini hanya mempan untuk menangani Covid-19 selama satu sampai dua tahun.
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Siti Fatimah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 dari Universitas Padjadjaran, Prof Kusnandi Rusmil, mengatakan berdasarkan penelitiannya selama ini terhadap vaksin buatan Sinovac yang diuji terhadap 1.620 relawan di Bandung, vaksin ini terbukti menumbuhkan kadar antibodi terhadap Covid-19 sebanyak 99,7 persen.
Kusnandi menekankan, walaupun demikian, kadar antibodi ini tidak menentukan seorang yang telah disuntik vaksin ini kebal terhadap Covid-19 atau tidak.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, katanya, mengenai pembentukan antibodi tersebut dengan tingkat kekebalan terhadap Covid-19.
Baca juga: Setelah Diprovokasi Pria 65 Tahun, Satu Pria dan Satu Wanita Pimpin Dua Kelompok Rusak Kebun Teh
"Kadar antibodi itu tidak menentukan seseorang itu kebal terhadap penyakit atau tidak. Jadi kita nggak tahu. Tapi dari hasil penelitian saya, 99,7 persen itu terbentuk antibodi. Tapi antibodi bisa mencegah penyakit atau enggak, itu kita belum tahu," kata Kusnandi seusai mendampingi Gubernur Jabar melakukan kunjungan kelima sebagai relawan uji klinis vaksin Covid-19 di Puskesmas Garuda, Senin (22/3).
Dari 1.620 relawan yang disuntik vaksin maupun plasebo pada uji klinis fase tiga ini, katanya, terdapat 95 orang yang dinyatakan positif Covid-19.
Dirinya belum memiliki data berapa orang dari 95 di antaranya yang disuntik vaksin atau plasebo.
Sebelumnya pada Januari 2021, sebanyak 25 orang relawan di antaranya sempat terkonfirmasi positif Covid-19.
Rinciannya, sebanyak 7 orang yang sempat positif Covid-19 adalah dari kelompok 810 orang relawan yang mendapat dua kali suntikan vaksin.
Baca juga: Kecelakaan Maut di Tol Cipali, Daihatsu Luxio Seruduk Truk, Sopir Luxio Tewas, Pengemudi Truk Kabur
Sedangkan 18 orang lainnya adalah dari kelompok 810 orang yang mendapat suntikan plasebo.
Seperti diketahui, katanya, pada uji klinis fase 3 di Indonesia, dari 1.620 relawan, setengahnya mendapat vaksin sebanyak dua kali penyuntikan, sedangkan setengahnya lagi mendapat suntikan plasebo atau air.
Dengan dua pengelompokan inilah akan diketahui efektivitas vaksin.
Di Tahun Ketiga, Harus Ganti Vaksin
Kusnandi mengatakan menurut perhitungannya, dengan perubahan bentuk atau mutasi virus Covid-19 yang ada selama ini, vaksin Covid-19 yang telah dikembangkan oleh berbagai perusahaan saat ini hanya mempan untuk menangani Covid-19 selama satu sampai dua tahun.
"Untuk satu tahun atau dua tahun masih mempan vaksinnya. Tapi mungkin kalau lewat tahun ketiga, kita harus ganti vaksin. Tapi kalau sekarang masih mempan," katanya.
Baca juga: VIDEO-Berantan Kementerian Pertanian Musnahkan 108 Ton Jahe Asal Vietnam dan Myanmar di Karawang
Covid-19, katanya, memang terus bermutasi seperti menjadi jenis B-117 dari Inggris.
Sebelumnya ditemukan varian dari Afrika Selatan dengan genome barunya N-501-Y, juga sempat ditemukan jenis D-614-G yang menjadi mutasi paling dominan sejak Juni 2020.
Kusnandi pun kemudian mengibaratkan mutasi virus Covid-19 yang awalnya sebesar mobil sedan selama satu sampai dua tahun ini, namun tiga tahun kemudian disepertikan menjadi sebuah truk yang lebih besar.
Karenanya, jenis vaksin pun harus diperbaharui untuk mengatasi mutasi virus tiga tahun kemudian.
"Jadi mau bentuknya sebesar sedan, yang sebesar itu kenal sama vaksin Sinovac ini. Tapi begitu virus yang sudah jadi truk, udah nggak mempan. Jadikan dia lama-lama nambah, lama-lama bisa jadi truk. Kalau sudah jadi truk, tidak mempan," katanya.
Dalam uji klinis vaksin yang tengah dijalaninya pun, katanya, WHO membuat perubahan prosedur.
Baca juga: Ridwan Kamil Ungkap KPK Sedang Banyak Kegiatan di Jawa Barat, Tanda Banyak Kasus Korupsi?
Pihaknya harus kembali memeriksa darah para relawan pada kunjungan kelima.
"Karena penyakitnya kan baru setahun, jadi kita masih pelajari dengan teliti. Jadi masih banyak yang menjadi pertanyaan, tanda tanya besar. Jadi WHO minta kita, semuanya diambil darah lagi, diperpanjang (uji klinisnya)," katanya.
Setahun setelah penyuntikan pertama pada Agustus 2020, katanya, para relawan ini pun harus mendapat sekali lagi suntikan vaksin pada Agustus 2021, sesuai dengan permintaan WHO.
"Yang sudah disuntik, tidak akan timbul kekebalan seumur hidup. Itu tidak akan karena bentuk kumannya seperti kuman yang sudah ada kan, seperti influenza juga, disuntik itu kan diimunisasi setahun sekali, tiap tahun ganti," katanya.
Sebelumnya diberitakan, masyarakat yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19, masih diwajibkan untuk tetap melaksanakan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 sampai herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap penyakit ini terbentuk.
Baca juga: Dadang Subur si Dewa Kipas , Kalah tapi Tetap Dapat Duit Rp 100 Juta, Begini Katanya Setelah Keok
Hal ini terlihat dari adanya orang yang sudah mendapat vaksin Covid-19, tapi tertular Covid-19.
Ketua Tim Peneliti Uji Klinis Vaksin Covid-19 dari Universitas Padjadjaran, Prof Kusnandi Rusmil, mengatakan dari 1.620 orang relawan uji klinis vaksin dari Sinovac di Bandung, sebanyak 25 orang di antaranya sempat terkonfirmasi positif Covid-19.
Rinciannya, sebanyak 7 orang yang sempat positif Covid-19 adalah dari kelompok 810 orang relawan yang mendapat dua kali suntikan vaksin.
Sedangkan 18 orang lainnya adalah dari kelompok 810 orang yang mendapat suntikan plasebo.
Seperti diketahui, katanya, pada uji klinis fase 3 di Indonesia, dari 1.620 relawan, setengahnya mendapat vaksin sebanyak dua kali penyuntikan, sedangkan setengahnya lagi mendapat suntikan plasebo atau air.
Baca juga: VIDEO-Anggota DPR RI, Ono Surono Bahwa Komisi IV Sepakat Minta Pemerintah Batalkan Impor Beras
Dengan dua pengelompokan inilah akan diketahui efektivitas vaksin.
"Kemudian dilihat berapa yang sakit dari kelompik yang dapat vaksin, berapa yang sakit dari kelompok yang dapat plasebo. Dari hasil yang kemarin, dari yang dapat plasebo 18 orang, yang sakit yang dapat vaksin 7 orang," kata Kusnandi saat ditemui di tempat prakteknya di Kota Bandung, Senin (18/1).
"Mereka dapat virus dari luar (bukan dari vaksin), karena yang ikut uji klinis kan boleh ke mana-mana ya. Nanti kalau ada gejala batuk, pilek, itu harus kontrol. Sehingga kalau kontrol, sama kita di-swab. Tapi sebagian besar dari yang positif itu gejalanya ringan, jadi nggak dirawat yang dapat vaksin itu. Nah yang dapat plasebo ada yang dirawat," katanya.
Mereka yang mendapat vaksin dan positif Covid-19, katanya, mengalami gejala ringan, yakni grade 1 dan 2.
Sedangkan yang mendapat plasebo bisa sampai mendapat gejala berat dengan grade 3 dan 4.
Mereka pun secara penuh mendapat perawatan.
Baca juga: Ridwan Kamil Sebut Vaksin AstraZeneca Belum Dipakai di Jabar, Soal Vaksin Urusan Pemerintah Pusat
Tidak semua orang memproduksi imun setelah divaksin
Kusnandi mengatakan tidak semua orang yang mendapat vaksin Covid-19 akan memiliki imunitas terhadap Covid-19.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki sejumlah masalah kesehatan atau beberapa penyakit.
"(Jadi intinya kalau orang yang sudah divaksin masih ada kemungkinan tertular), masih bisa. Dijadikan vaksin itu maksudnya supaya tubuh kita kebal terhadap penyakit. Tapi ada beberapa orang yang mempunyai gangguan sehingga tidak terbentuk kekebalan," katanya.
Orang-orang yang tidak mendapat imunitas setelah divaksin, katanya, contohnya adalah orang-orang yang memiliki permasalahan dengan kekebalan tubuh.
"Contohnya orang yang makan-makan obat-obatan tertentu, atau orang sedang kena penyakit, ya umpamanya dia itu penyakit leukemia, atau gangguan imunodefisiensi, sehingga dia gampang tertular. Juga orang-orang yang begitu nggak boleh diimunisasi, karena dia tidak akan terbentuk responnya," ujar Kusnandi.
Baca juga: 1.630 Calon Mahasiswa Lolos Masuk ITB Melalui Jalur SNMPTN 2021
Dengan demikian, katanya, semua orang tetap harus menjalankan protokol kesehatan supaya tidak tertular atau menulari orang lain.
Walaupun diketahui, orang yang dinyatakan positif Covid-19 setelah mendapat vaksinasi, hanya mengalami gejala ringan.
"Semua harus tetap melakukan protokol kesehatan. Vaksin saja kurang. Orang yang divaksin, enggak ikut protokol kesehatan, dia bisa menularkan penyakit ke orang lain. Karena kumannya itu kan ada di baju, ada di leher, ada di semua. Kalau sembarangan, dia akan menularkan karena kuman ada di badan dia," katanya.
Menjadi landasan penghitungan efikasi
Perbandingan jumlah relawan yang terkena Covid-19 tersebut, katanya, kemudian dihitung untuk mendapatkan persentase efikasi atau kemanjuran vaksin.
Baca juga: Butuh 18 CCTV Baru untuk Pantau Kondusivitas Warga Kota Cirebon
Adanya relawan yang positif Covid-19 ini, katanya, memang sudah diperkirakan. Inilah sebabnya uji klinis tahap 3 dilakukan di negara-negara yang masih terjadi wabah, bukan di China yang wabahnya sudah sangat terkendali.
Dengan efikasi yang mencapai 65,3 persen di Indonesia ini, katanya, vaksin tersebut dinyatakan sudah dapat digunakan karena sudah melampaui syarat dari WHO, yakni harus di atas 50 persen.
Jika sudah memenuhi syarat itu, barulah bisa menerbitkan Emergency Use Authorization atau izin untuk otorisasi penggunaan darurat, sebelum uji klinis selesai.
"Kan kita akan meneliti itu supaya tahu, manjur nggak sih vaksin ini. Jadi memang orang yang sudah divaksin sama yang diberi plasebo itu bisa ke mana-mana, supaya dia ada kesempatan untuk ketemu sama orang-orang yang tertular penyakit Covid-19. Badannya kebal atau tidak. Nanti dibandingkan antara yang dapat vaksin berapa yang sakit, yang dapat plasebo berapa yang sakit, kemudian dihitung, ketemulah efikasi yang di sini 65,3 persen," katanya.
Di Turki sendiri, katanya, efikasi vaksin buatan Sinovac ini mencapai 91,2 persen.
Sedangkan di Brasil, efikasinya mencapai 78 persen, kemudian diturunkan sampai 50,4 persen.
Perbedaan tingkat efikasi ini, katanya, disebabkan perbedaan kriteria yang digunakan pada setiap penelitian.