Cerpen

Larangan Membuka Mulut

Nyaris lima bulan tak sadarkan diri lantaran sebuah "kecelakaan", ia siuman di tengah hajat hidup yang demikian berbeda. Semua orang menutup mulut.

Editor: Hermawan Aksan
Ilustrasi Cerpen Tanpa Kata, Tanpa Suara 

Oleh Artie Ahmad

IA tak benar-benar mengerti mengapa dunia begitu berubah. Nyaris lima bulan tak sadarkan diri lantaran sebuah "kecelakaan", ia siuman di tengah hajat hidup yang demikian berbeda. Semua orang menutup mulut. Tak ada dilihatnya bibir bergincu milik orang lain, tak ada dilihatnya kumis melintang, semua mulut ditutup rapat. Konon, dari ucapan-ucapan yang didengarnya samar-samar dari kamar rawat, hajat hidup yang diubah tak lain adalah menutup mulut.

"Mungkin, jika makan minum tak lewat mulut, semua mulut manusia di muka bumi ini akan dijahit permanen," batinnya dengan rasa heran.

Orang-orang datang dengan kabar adanya pandemi. Seorang perawat, yang tak lagi bisa dikenali wajahnya lantaran memakai selongsong penutup mulut dan kacamata putih besar, berbicara dengannya mengenai kabar itu tepat dua hari setelah dirinya siuman.

"Pandemi yang menakutkan. Sudah memakan ribuan nyawa. Pandemi yang datang dari negeri seberang, tapi meneror seantero negeri kita!" ujar perawat yang namanya tak juga bisa dia eja lantaran kacamatanya entah di mana.

Tentu kabar tentang pandemi yang menelan banyak nyawa akan membuatnya terkejut. Tidur yang dipaksa lantaran tempurung kepalanya ditetak seseorang itu membuat kesadarannya terganggu.

"Lantas mengapa semua orang harus menutup mulutnya? Memakai selongsong?" pertanyaannya meluncur setelah dia berusaha membuka mulut. Sesungguhnya itu bukan pertanyaan, melainkan keluhan lantaran kini mulutnya pun harus ditutup selongsong pelindung yang pengap dan membuat napasnya sedikit tersengal. Sudah lebih dari seminggu dia siuman hari itu.

"Norma baru di hidup kita sekarang bertambah. Menutup mulut menggunakan selongsong pelindung seperti ini," jawab perawat perempuan itu sembari menunjuk selongsong yang menutup mulutnya. "Jika tidak memakainya, sekarang kita dinilai tidak sopan dan disangka menularkan penyakit. Bukan sekadar menularkan, tetapi lebih celaka lagi ditularkan penyakit itu dari orang lain!"

Dengan kepala yang masih kerap berdenyut, dia berpikir mengapa membuka mulut saja bisa menjadi ketidaksopanan saat ini. Bukankah dulu kesopanan itu tak lebih dari tingkah laku menyinggung dari gerak tubuh atau berbicara menyakitkan telinga orang lain misalnya? Membuka mulut tak pernah menjadi bagian dari ketidaksopanan. Ah, ya, kecuali menguap lebar-lebar!

Meski mencoba berpikir keras, dia tak menemukan jawaban dan sesungguhnya tak benar-benar memerlukan jawaban. Jawaban yang dia butuhkan tak lain siapakah yang tega menetak kepalanya dengan benda keras.

Dengan mata yang sedikit kabur lantaran tanpa kacamata, ditatapnya perawat perempuan yang sedang bercerita tak henti. Perawat itu memanglah sangat baik. Kata beberapa perawat lain, perawat inilah yang menungguinya selama melewati fase koma. Masa ketika dirinya tertidur dan hanya menjalani hidup lewat mimpi-mimpi atau lebih sering gelap sama sekali. Masa ketika dirinya berdiri di jurang yang disebut nyaris mati.

"Seharusnya Anda menjadi penulis saja," ujarnya perlahan saat perawat perempuan itu menjeda ceritanya.

"Saya tak pandai menulis," perawat itu menimpali seraya tersenyum. Ya, tersenyum dilihat dari matanya yang menyipit tapi terlihat binar di sana.

"Saya punya sepupu perempuan, seorang penulis andal. Dia cerewet sekali. Sejak kecil dia jago bercerita. Suaranya demikian berisik seperti kaleng rombeng. Beo milik kakek saya sampai mati, lantaran stres ada yang lebih cerewet dari dia!"

Mendengar ucapannya, perawat itu tertawa. Lalu seolah tersadar sesuatu, perawat itu melihat jam dan terburu-buru pergi meninggalkan cerita yang seolah belum usai. Ia terkapar sendirian di kamar rawat. Kamar yang sepenuhnya dibayarkan oleh asuransi. Matanya menatap langit-langit kamar dengan buram. Didengarnya napasnya sendiri, berat lantaran ada selongsong pelindung membekap mulutnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved