Peristiwa G30S PKI
Banjir Darah Pasca-G30S/PKI Dimulai Setelah Ormas dan Warga Sipil Dipersenjatai
Pangdam Diponegoro Brigjen Suryo Sumpeno mendengar kabar terjadinya Gestapu ketika ia sedang minum kopi bersama istri di rumahnya di Semarang.
Di desa-desa di seluruh wilayah itu, pohon-pohon ditebang dan dilintangkan di tengah jalan. Jaringan telepon diputus.
Pemuda Rakyat menyerang kantor polisi dan markas tentara berharap memperoleh senjata, karena mereka hanya punya pisau dan bambu runcing.
Oang-orang anti-komunis diculik dan dibunuh. Rumah mereka dibakar.
Namun, perlawanan ini berlangsung sebentar saja. Banyak anggota komunis terluka dan RPKAD langsung memegang kendali.
Inilah perlawanan terorganisir PKI DI Jawa Tengah untuk terakhir kalinya.
Beberapa minggu setelahnya, memang masih terjadi pelawanan oleh Pemuda Rakyat, namun ini hanyalah insiden-insiden yang tak terkait satu sama lain.
Dengan demikian pada 23 Oktober Gestapu di Jawa Tengah telah habis.
Jalan lapang tersedia bagi RPKAD untuk memulai “pembersihan” komunis.
Karena Jawa Tengah terlalu luas dan padat bagi RPKAD, “Kami memutuskan,” kata Komandan RPKAD, Sarwo Edhie, “untuk mendukung warga sipil yang anti-komunis agar ikut membantu. Di Solo kami mengumpulkan para pemuda, dari kelompok nasionalis, organisasi religius (muslim). Kami memberi mereka pelatihan selama dua atau tiga hari, kemudian menugasi mereka untuk membunuh orang-orang komunis.”
Dan mulailah banjir darah pasca G30S.
Suatu tragedi kemanusian yang menjadi makin parah dan tidak terkendali sekaligus menjadi pelajaran sejarah karena melibatkan warga sipil dan ormas-ormas yang dipersenjatai.