Menyoal Budaya Literasi, Peran Muhammadiyah Menghadapi Bonus Demografi 2045
Analisis budaya literasi Indonesia, ketimpangan baca, bonus demografi, dan tantangan Muhammadiyah dalam menghidupkan tradisi intelektual
Bahkan dalam berbagai survei lembaga kredibel dan juga riset para ahli, kondisi budaya literasi di tanah air terjadi kemandegan. Walaupun ini sebenarnya menjadi tugas utama pemerintah, sepertinya organisasi bercorak pembaharuan ini juga perlu melakukan introspeksi.
Setidaknya, dalam isu literasi, kita dapat melakukan mempertanyakan secara kritis tentang kondisi gerak persyarikatan di bidang ini.
Pertama, jumlah pendidikan dari PAUD hingga Perguruan Tinggi, jumlahnya sangat fantastis, tetapi apakah berbanding lurus dengan budaya bacanya atau tidak?
Baca juga: Mahasiswa Bayar Kuliah Pakai Hasil Laut dan Tani, Universitas Muhammadiyah Maumere Harus Sewa Gudang
Ketika sekolah dan kuliah hanya formalitas dengan pelajaran yang kaku, anak didik tidak membutuhkan tambahan pengetahuan, sehingga kemampuan literasinya tetap rendah – walaupun level pendidikannya tinggi.
Kedua, lembaga pendidikan yang sangat administratif, berkontribusi pada malasnya anak didik untuk memiliki target jauh untuk menambah asupan ilmu dari teks di luar buku pelajaran. Dengan tugas-tugan yang menumpuk, siswa tidak ada lagi memiliki waktu untuk mencari pengetahuan lain di luar yang menjadi kewajibannya di kelas.
Ketiga, perpustakaan di sekolah dan PTMA hanya prasyarat akreditasi, bukan pada pemenuhan kebutuhan budaya literasi agar anak didik makin cerdas.
Ada yang serius tapi kemungkinan besar hanya beberapa saja. Karena hanya memenuhi syarat saja, maka kondisinya kurang memadai, tidak seksi, sehingga tidak menarik orang untuk datang.
Keempat, keberadaan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) yang lebih cenderung pada budaya kongkow dan lebih politis. Walaupun tidak semua, tetapi trend ini hampir merata.
Muhammadiyah Perlu Berbenah
Sangat sulit mencari tradisi literasi dengan aktivitas berbasis wacana kritis di Ortom muda ini. Sekretariat tidak lebih berfungsi untuk mengimpan arsip, sebab aktivitas rapat dan koordinasipun mesti di cafe atau ruang ekslusif lainnya.
Sulit mendengar riuh diskusi, langka menemukan kegiatan seminar dan bedah buku. Segala yang berbau literasi umumnya tak mudah ditemukan.
Hingga titik ini, Muhammadiyah perlu berbenah. Sebagai pembaharu, hilangnya budaya literasi harusnya jadi isyarat kepunahan. Bermuhammadiyah hanya administratif, lebih mekanis, gersang, miskin wacana dan tradisi akademik.
Jumlah lembaga pendidikan bukan jaminan, sebab literasi tidak selamanya lahir dari bangku sekolah atau kuliah. Paling penting, bagaimana kemudian pimpinan di berbagai level juga memberikan uswah pada tradisi yang satu ini. Wallahu a’lam.
*Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Bandung dan Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/Ilustrasi-Literasi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.