Menyoal Budaya Literasi, Peran Muhammadiyah Menghadapi Bonus Demografi 2045
Analisis budaya literasi Indonesia, ketimpangan baca, bonus demografi, dan tantangan Muhammadiyah dalam menghidupkan tradisi intelektual
Ringkasan Artikel:
- Literasi nasional masih lemah. Meski indeks membaca naik, budaya literasi pelajar stagnan dan timpang antarwilayah.
- Sejak awal, Muhammadiyah memajukan literasi lewat sekolah modern, majalah Suara Muhammadiyah, dan perpustakaan. Namun tradisi itu belum sepenuhnya terjaga di era sekarang.
- Banyak sekolah dan kampus Muhammadiyah belum berbanding lurus dengan budaya baca. Perpustakaan kurang hidup dan kultur intelektual lemah. Gerakan perlu kembali menegaskan komitmen literasi.
Oleh Roni Tabroni *
STAGNASI budaya baca menjadi soal yang dianggap serius sebagian kalangan. Kondisi ini kontras dengan janji bonus demografi yang konon akan dipetik di 2045.
Lalu apa yang akan dihasilkan jika generasi mudanya sebagai bonus itu jauh dari tradisi literasi. Generasi emas hanya isapan jempol dan jargon omong kosong.
Memang ada trend kenaikan pada indeks Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) nasional sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
TGM nasional tahun 2024 mencapai 72,44. Angka ini naik dari tahun 2023 yang berada di angka 66,77, tahun 2022 di angka 63,9, dan 2021 di angka 59,52.
Namun di tengah merangkaknya angka TGM, kondisi kegemaran membaca pada pelajar masih mengalami stagnasi dalam kategori ”sedang”. Bahkan data lain sebagaimana dilansir Kompas justru menunjukkan terjadinya ketimpangan antar daerah.
Provinsi di Pulau Jawa mendominasi posisi tertinggi, sedangkan skor TGM terendah berpusat di wilayah Indonesia bagian timur. Misalnya terlihat data skor untuk Yogyakarta mencapai 79,99 pada 2024 sedangkan Papua hanya 38,33. Inilah jurang ketimpangan literasi yang makin lebar antara Jawa dan kawasan timur Indonesia.
Jika dikaitkan dengan peta jalan pendidikan Indonesia 2025-2045, kondisi literasi tanah air ini termasuk berada di titik menghawatirkan.
Padahal menuju peta jalan tersebut, diperlukan budaya literasi yang memadai sebagai pondasi utamanya.
Kapasitas SDM unggul sangat ditentukan oleh budaya literasi yang terbangun secara individu yang kemudian menjadi budaya kolektif.
Baca juga: Pengangguran di Jabar Masih Tinggi, Anggota DPRD Jabar: Tingkatkan SDM, Persiapkan Bonus Demografi
Belum lagi kita merangkak pada tradisi lainnya seperti menulis dan kemampuan memahami informasi secara kritis. Kemampuan tersebut menjadi penting untuk kualitas diri agar dapat melakukan problem solving dalam kehidupan sehari-hari.
Maka tidak salah kemudian Bapenas RI kemudian menjadikan literasi sejak dini, khususnya di kalangan pelajar, menjadi prioritas program pembangunan.
Sebab, faktanya, di kawasan ASEAN, posisi Indonesia masih tertinggal, hanya dapat mengungguli Filipina dan Kamboja.
Vietnam skor rata-rata 494, dan Singapura yang berada di posisi pertama dunia dengan 539. Malaysia (409,2) dan Thailand (408,6) pun berada di atas Indonesia.
Bukan tanpa alasan, bagaimana jebloknya tradisi literasi di tanah air. Pertama, harga buku mahal.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja, daya beli terhadap buku menjadi kendala serius. Sedangkan negara alfa dalam sektor ini, tiada kebijakan misalnya subsidi buku atau segala hal yang berdampak pada menurunnya harga buku.
Kedua, aksesibilitas publik yang terhadap pusat baca minim. Perpustakaan baik yang disediakan pemerintah maupun komunitas begitu minim, di mana publik kesulitan mencari pusat referensi dengan kuantitas yang cukup. Bagi daerah tertentu mungkin memadai seperti di Yogyakarta, tetapi di tempat lain begitu sulit.
Ketiga, godaan era digital. Kemampuan membaca dalam banyak riset digunakan hanya untuk teks pendek yang berbasis pada media sosial.
Menemukan teks panjang seperti buku tentu menjadi tantangan tersendiri untuk genenrasi saat ini. Termasuk buku-buku berbasis elektronik sampai saat ini tidak memberikan informasi menggembirakan.
Mengapa tidak, banyaknya koleksi E-Book, tidak berbanding lurus dengan kemampuan dan kebiasaan membacanya.
Pada ruang yang lain, AI telah menjadi fasilitas untuk menyantuni kebutuhan konten panjang untuk kebutuhan menulis dengan hanya perintah alakadarnya, tetapi tidak memberikan asupan secara kognitif sebab kebutuhannya lebih pragmatis.
Literasi di Muhammadiyah
Persyarikatan Muhammadiyah, sejak awal kelahirannya yaitu 1912, sudah menyadari kondisi sosial yang terjadi.
Ia tidak lahir dalam ruang yang baik-baik saja. Ada situasi yang begitu kritis, terkait kebodohan, kemiskinan dan taqlid buta dalam beragama.
Sebagai organisasi pembahahru, Muhammadiyah merencanakan visi yang jauh ke dengan langkah-langkah kongkrit dan sangat terukur.
Kebodohan yang terjadi sangat berkorelasi dengan minimnya tingkat literasi. Dimana proses kolonialisasi yang berlangsung berabad-abad, berdampak langsung pada kondisi budaya dan perilaku masyarakat, khususnya dalam dunia pendidikan atau budaya literasi.
Sebenarnya, sejak awal Muhammadiyah sudah merespon kondisi ini dengan sangat serius. Salah satunya yaitu dengan mendirikan lembaga pendidikan bercorak modern.
Walaupun banyak ditentang pada masanya, secara pelahan konsep pendidikan perpaduan agama dan metode juga pelajaran modern (bercorak kebarat-baratan) ini diterima oleh berbagai pihak. Kebodohan terus diberantas melalui lembaga pendidikan.
Namun, untuk menegaskan keberpihakannya pada literasi, Muhammadiyah tidak hanya menggunakan pendekatan pendidikan formal, tetapi juga membangun pilar penting yaitu pendirian Bahagian Pustaka.
Bagian ini yang kemudian kelak merintis berdirinya Biblioteka (Perpustakaan) pada tahun 1920-an, padahal kondisi masyarakat mayoritas masih buta huruf.
Pendirian Biblioteka juga sebenarnya menggenapkan upaya Muhammadiyah dalam meningkatkan daya baca umat, yang sebelumnya sudah didahului dengan pendirian majalah Suara Muhammadiyah pada tahun 1915.
Muhammadiyah di Era Digital
Di era digital, setelah Muhammadiyah berkiprah lebih dari satu abad, persoalan literasi ternyata belum benar-benar tuntas.
Bahkan dalam berbagai survei lembaga kredibel dan juga riset para ahli, kondisi budaya literasi di tanah air terjadi kemandegan. Walaupun ini sebenarnya menjadi tugas utama pemerintah, sepertinya organisasi bercorak pembaharuan ini juga perlu melakukan introspeksi.
Setidaknya, dalam isu literasi, kita dapat melakukan mempertanyakan secara kritis tentang kondisi gerak persyarikatan di bidang ini.
Pertama, jumlah pendidikan dari PAUD hingga Perguruan Tinggi, jumlahnya sangat fantastis, tetapi apakah berbanding lurus dengan budaya bacanya atau tidak?
Baca juga: Mahasiswa Bayar Kuliah Pakai Hasil Laut dan Tani, Universitas Muhammadiyah Maumere Harus Sewa Gudang
Ketika sekolah dan kuliah hanya formalitas dengan pelajaran yang kaku, anak didik tidak membutuhkan tambahan pengetahuan, sehingga kemampuan literasinya tetap rendah – walaupun level pendidikannya tinggi.
Kedua, lembaga pendidikan yang sangat administratif, berkontribusi pada malasnya anak didik untuk memiliki target jauh untuk menambah asupan ilmu dari teks di luar buku pelajaran. Dengan tugas-tugan yang menumpuk, siswa tidak ada lagi memiliki waktu untuk mencari pengetahuan lain di luar yang menjadi kewajibannya di kelas.
Ketiga, perpustakaan di sekolah dan PTMA hanya prasyarat akreditasi, bukan pada pemenuhan kebutuhan budaya literasi agar anak didik makin cerdas.
Ada yang serius tapi kemungkinan besar hanya beberapa saja. Karena hanya memenuhi syarat saja, maka kondisinya kurang memadai, tidak seksi, sehingga tidak menarik orang untuk datang.
Keempat, keberadaan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) yang lebih cenderung pada budaya kongkow dan lebih politis. Walaupun tidak semua, tetapi trend ini hampir merata.
Muhammadiyah Perlu Berbenah
Sangat sulit mencari tradisi literasi dengan aktivitas berbasis wacana kritis di Ortom muda ini. Sekretariat tidak lebih berfungsi untuk mengimpan arsip, sebab aktivitas rapat dan koordinasipun mesti di cafe atau ruang ekslusif lainnya.
Sulit mendengar riuh diskusi, langka menemukan kegiatan seminar dan bedah buku. Segala yang berbau literasi umumnya tak mudah ditemukan.
Hingga titik ini, Muhammadiyah perlu berbenah. Sebagai pembaharu, hilangnya budaya literasi harusnya jadi isyarat kepunahan. Bermuhammadiyah hanya administratif, lebih mekanis, gersang, miskin wacana dan tradisi akademik.
Jumlah lembaga pendidikan bukan jaminan, sebab literasi tidak selamanya lahir dari bangku sekolah atau kuliah. Paling penting, bagaimana kemudian pimpinan di berbagai level juga memberikan uswah pada tradisi yang satu ini. Wallahu a’lam.
*Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Bandung dan Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/Ilustrasi-Literasi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.