Menyoal Budaya Literasi, Peran Muhammadiyah Menghadapi Bonus Demografi 2045

Analisis budaya literasi Indonesia, ketimpangan baca, bonus demografi, dan tantangan Muhammadiyah dalam menghidupkan tradisi intelektual

|
Editor: Arief Permadi
TRIBUN JABAR
FOTO ILUSTRASI - DIBUAT OLEH ARIEF PERMADI, DIOLAH DENGAN AI 

Kedua, aksesibilitas publik yang terhadap pusat baca minim. Perpustakaan baik yang disediakan pemerintah maupun komunitas begitu minim, di mana publik kesulitan mencari pusat referensi dengan kuantitas yang cukup. Bagi daerah tertentu mungkin memadai seperti di Yogyakarta, tetapi di tempat lain begitu sulit. 

Ketiga, godaan era digital. Kemampuan membaca dalam banyak riset digunakan hanya untuk teks pendek yang berbasis pada media sosial. 

Menemukan teks panjang seperti buku tentu menjadi tantangan tersendiri untuk genenrasi saat ini. Termasuk buku-buku berbasis elektronik sampai saat ini tidak memberikan informasi menggembirakan. 

Mengapa tidak, banyaknya koleksi E-Book, tidak berbanding lurus dengan kemampuan dan kebiasaan membacanya.

Pada ruang yang lain, AI telah menjadi fasilitas untuk menyantuni kebutuhan konten panjang untuk kebutuhan menulis dengan hanya perintah alakadarnya, tetapi tidak memberikan asupan secara kognitif sebab kebutuhannya lebih pragmatis. 

Literasi di Muhammadiyah 

Persyarikatan Muhammadiyah, sejak awal kelahirannya yaitu 1912, sudah menyadari kondisi sosial yang terjadi. 

Ia tidak lahir dalam ruang yang baik-baik saja. Ada situasi yang begitu kritis, terkait kebodohan, kemiskinan dan taqlid buta dalam beragama.

Sebagai organisasi pembahahru, Muhammadiyah merencanakan visi yang jauh ke dengan langkah-langkah kongkrit dan sangat terukur. 

Kebodohan yang terjadi sangat berkorelasi dengan minimnya tingkat literasi. Dimana proses kolonialisasi yang berlangsung berabad-abad, berdampak langsung pada kondisi budaya dan perilaku masyarakat, khususnya dalam dunia pendidikan atau budaya literasi.

Sebenarnya, sejak awal Muhammadiyah sudah merespon kondisi ini dengan sangat serius. Salah satunya yaitu dengan mendirikan lembaga pendidikan bercorak modern. 

Walaupun banyak ditentang pada masanya,  secara pelahan konsep pendidikan perpaduan agama dan metode juga pelajaran modern (bercorak kebarat-baratan) ini diterima oleh berbagai pihak. Kebodohan terus diberantas melalui lembaga pendidikan.

Namun, untuk menegaskan keberpihakannya pada literasi, Muhammadiyah tidak hanya menggunakan pendekatan pendidikan formal, tetapi juga membangun pilar penting yaitu pendirian Bahagian Pustaka. 

Bagian ini yang kemudian kelak merintis berdirinya Biblioteka (Perpustakaan) pada tahun 1920-an, padahal kondisi masyarakat mayoritas masih buta huruf. 

Pendirian Biblioteka juga sebenarnya menggenapkan upaya Muhammadiyah dalam meningkatkan daya baca umat, yang sebelumnya sudah didahului dengan pendirian majalah Suara Muhammadiyah pada tahun 1915. 

Muhammadiyah di Era Digital

Di era digital, setelah Muhammadiyah berkiprah lebih dari satu abad, persoalan literasi ternyata belum benar-benar tuntas. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved