Masalah Sampah di Bandung, Farhan Akui Partisipasi Masyarakat Olah Sampah Masih Rendah

Muhammad Farhan mengatakan tantangan terbesar dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung salah satunya pada partisipasi masyarakat.

Tribun Jabar/ Hilman Kamaludin
TUMPUKAN SAMPAH - Sampah di TPS Ciwastra menumpuk imbas perubahan sistem pembuangan dari ritase ke tonase. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Hilman Kamaludin

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kesadaran masyarakat untuk memilah sampah jadi tantangan berat Pemkot Bandung karena hingga saat ini partisipasinya masih rendah disaat Kota Bandung mengalami darurat sampah.

Padahal langkah tersebut dinilai efektif menyelesaikan masalah sampah saat kuota pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti dibatasi 981 ton per hari. Sedangkan produksi sampah di Kota Bandung mencapai 1.500 ton per hari.

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan mengatakan tantangan terbesar dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung saat ini memang bukan pada pengadaan teknologi, melainkan pada partisipasi masyarakat.

Baca juga: ITB dan Pemkot Bandung Bahas Solusi Sampah Melalui Budaya dan Teknologi

"Tantangan saya sekarang ini dalam pengelolaan sampah bukan teknologi, tapi public participatory. Partisipasi masyarakat soal sampah itu masih sangat rendah," ujarnya di Summarecon Bandung, Kamis (13/11/2025).

Farhan mengatakan, dari 1.597 RW yang ada di Kota Bandung, sejak program Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan (Kang Pisman) diluncurkan sekitar tahun 2019 dan disusul oleh program Buruan Sae (Urban Farming), hanya sekitar 400 RW yang benar-benar menerapkan prinsip pengelolaan sampah dengan baik.

"Artinya masih ada lebih dari seribu RW yang belum disiplin dalam pengelolaan sampah. Padahal, kuncinya bukan di alat atau mesin, tapi di kesadaran warganya," kata Farhan.

Dalam kesempatan tersebut, Farhan juga menyoroti fenomena maraknya ketertarikan pada teknologi insinerator untuk mengolah sampah. Namun menurutnya, solusi utama tetap harus dimulai dari tingkat RW.

"Sekarang semua orang tergila-gila pada insinerator. Padahal, grand desain Kota Bandung adalah 30 persen sampah harus habis di RW. Harus habis di RW, mau tidak mau, kita harus memastikan 1.597 RW itu bisa mengolah sampah organik di wilayahnya masing-masing," ucapnya.

Farhan mengatakan, sampah non organik yang tersisa bisa diolah menjadi bahan daur ulang seperti plastik, atau dimasukkan ke dalam Refuse Derived Fuel (RDF) bahan bakar alternatif dari residu sampah.

Baca juga: Kota Bandung Kembali Darurat Sampah, Pemkot Rumuskan  Berbagai Cara Penanganan

"Alhamdulillah di Cigondewah sudah ada industri pengolahan plastik yang besar. Tapi untuk RDF, produksi kita baru sekitar 10 ton. Kalau 60 ton, bisa terjadi tumpukan selama dua hari," kata Farhan.

Dengan kondisi itu, Farhan berharap masyarakat bisa lebih aktif dan konsisten dalam memilah dan mengolah sampah sejak dari rumah agar nantinya Kota Bandung benar-benar menuju kota bersih dan berkelanjutan.

"Kuncinya bukan di mesin mahal, tapi di kebiasaan kecil setiap hari. Kalau tiap RW bergerak, Bandung pasti bisa," ujarnya.

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved