ITB dan Pemkot Bandung Bahas Solusi Sampah Melalui Budaya dan Teknologi

Persoalan sampah di Kota Bandung mendapat sorotan dalam Innovibes Vol 3 yang digelar oleh Institut Teknologi Bandung (ITB).

Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Giri
Tribun Jabar/Putri Puspita Nilawati
BERBICARA - Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, saat berbicara dalam kegiatan Innovibes yang digelar oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Direktorat Kawasan Sains dan Teknologi (DKST). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita

TRIBUNJABAR.ID,ID, BANDUNG - Persoalan sampah di Kota Bandung mendapat sorotan dalam Innovibes Vol 3 yang digelar oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Direktorat Kawasan Sains dan Teknologi (DKST). 

Dalam acara bertema “Sustainable Infrastructure & Community Resilience” itu, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menegaskan, sampah tidak bisa dilihat semata sebagai persoalan teknis, melainkan juga persoalan budaya.

“Sampah adalah sebuah produk budaya. Kalau mau belajar dari Jepang, jangan cuma lihat teknologinya. Jepang tidak mengenal daun pisang. Sementara di Bandung, hampir semua makanan tradisional kita dibungkus dengan daun pisang. Dari kupat tahu, pepes, hingga lemper,” tutur Farhan di ITB Innovation Park, Summrecon Bandung, Kamis (13/11/2025).

Farhan menceritakan bagaimana pada April 2025, Pemerintah Kota Bandung menemukan tumpukan 1.200 meter kubik sampah daun pisang di kawasan Gedebage. 

Dari situ, muncul inisiatif membangun fasilitas biodigester yang kini mampu mengolah 20 ton sampah daun pisang per hari.

Baca juga: Kota Bandung Kembali Darurat Sampah, Pemkot Rumuskan  Berbagai Cara Penanganan

“Kita enggak perlu jauh-jauh ke Jepang atau Denmark. Kita bisa bikin sendiri. Yang penting bukan teknologinya, tapi bagaimana masyarakat mau berpartisipasi,” ucapnya.

Ia menyoroti rendahnya partisipasi publik dalam pengelolaan sampah

Dari total 1.597 RW di Kota Bandung, hanya sekitar 400 RW yang aktif menjalankan program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan) dan Buruan Sae (urban farming).

“Banyak warga yang berpikir, buang sampah boleh, asal bukan di rumahnya. Ini soal budaya dan ego,” ujarnya.

Farhan juga menyinggung rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) yang masih menemui hambatan hukum dan bisnis. 

Ia menyebut, saat ini Pemkot Bandung terikat dengan dua kesepakatan PLTSa yakni proyek lama di Bandung dan kerja sama dengan Legok Nangka, Garut, namun keduanya belum berjalan.

“Secara hukum, kami punya dua perjanjian dengan dua operator PLTSa yang berbeda. Tapi dua-duanya belum bisa dijalankan. Ini yang sedang kami dorong, sambil mencari solusi yang realistis dan tidak bergantung pada satu teknologi saja,” tutur Farhan.

Baca juga: Hadapi Darurat Sampah, Purwakarta Uji Coba Pengangkutan Organik ke Agroforestri Gunung Hejo

Direktur DKST ITB, R. Sugeng Joko Sarwono, menegaskan, tema acara ini memang berfokus pada bagaimana teknologi dapat memperkuat infrastruktur berkelanjutan dan ketahanan komunitas. 

Sampah, menurutnya, hanyalah satu dari banyak isu yang harus diselesaikan melalui pendekatan terpadu antara sains, budaya, dan partisipasi warga.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved