Skema Cicilan Pajak Kendaraan Dorong Kepatuhan Membayar? Begini Kata Pengamat

Skema pembayaran PKB roda dua maupun roda empat dan SWDKLLJ dengan sistem cicilan melalui aplikasi T-Samsat dinilai menjadi solusi yang baik.

Penulis: Nappisah | Editor: Giri
dokumen pribadi
PENGAMAT ekonomi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus), Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy, menyebut pembayaran pajak kendaraan bermotor bisa dicicil merupakan inovasi yang baik. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Skema pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB) roda dua maupun roda empat dan SWDKLLJ dengan sistem cicilan melalui aplikasi T-Samsat dinilai menjadi solusi yang baik. Wajib pajak bisa lebih ringan karena nilainya tidak langsung besar.

Dengan sistem digital yang praktis dan fleksibel, masyarakat bisa mengatur sendiri ritme pembayaran tanpa harus antre atau khawatir terlambat.

Menurut dosen sekaligus pengamat ekonomi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus), Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy, skema cicilan melalui aplikasi kerja sama dengan bank bjb memang inovatif. 

Rizaldy mengatakan, skema ini meringankan beban wajib pajak. Penyebabnya, pembayaran bisa dicicil sesuai kemampuan finansial dan ada fleksibilitas dalam memilih tanggal cicilan.   

“Bagi pemilik kendaraan yang terasa berat bayar sekaligus besar, ini solusi,” ujar Rizaldy kepada TribunJabar.id, Minggu (26/10/2025).

Selain itu, kata dia, skema ini, meningkatkan kepatuhan dan mengurangi tunggakan.

“Skema cicilan plus autodebet otomatis dipercaya sebagai mekanisme untuk meningkatkan on-time payment dan menurunkan jumlah tunggakan. Bila orang merasa lebih terjangkau, kemungkinan untuk bayar tepat waktu lebih besar,” ucap dia.

Rizaldy menuturkan, terobosan ini mendorong digitalisasi layanan publik. Penggunaan aplikasi T-Samsat yang terintegrasi dengan bank bjb meningkatkan kemudahan akses online, tanpa harus datang ke samsat fisik. Sehingga memperkuat efisiensi administratif. 

Baca juga: Warga Jabar Kini Bisa Cicil Pajak Kendaraan, Simak Tata Caranya Lewat T-Samsat: Tanpa Biaya Tambahan

Skema cicilan ini diyakini Rizaldy mampu mendorong pendapatan daerah lebih stabil.

“Dengan pembayaran yang lebih mudah dan tepat waktu, potensi penerimaan pajak (PAD dari PKB) bisa meningkat, membantu perencanaan fiskal daerah,” imbuhnya.

Kendati demikian, Rizaldy meminta faktor risiko tetap harus diperhatikan.

Pertama, risiko moral hazard atau beban administratif tersembunyi. Moral hazard adalah risiko seseorang atau pihak untuk mengambil keputusan yang lebih berisiko karena konsekuensi negatifnya akan ditanggung oleh pihak lain, terutama karena adanya asimetri informasi atau kontrak.

“Bila skema cicilan terlalu longgar atau tidak diikuti pengawasan, bisa ada risiko wajib pajak prokrastinasi atau memilih cicilan panjang tapi akhirnya menunggak. Jika autodebet gagal atau pemilik rekening berganti, pengumpulan bisa jadi sulit,” paparnya.

Kedua, pengaruh terhadap arus kas pemerintah daerah. Walaupun pencicilan membantu wajib pajak, artinya penerimaan besar yang sebelumnya datang sekaligus sekali bayar tahunan bisa menjadi tersebar.

“Jika tidak dikelola dengan baik, bisa berdampak pada likuiditas daerah. Misalnya pembiayaan pengeluaran jangka pendek. Jika sebelumnya PAD masuk Rp X dalam satu waktu, sekarang masuk bertahap,” tuturnya.

Ketiga, kondisi teknis dan pemanfaatan belum merata di Jawa Barat.

Rizaldy menyebut persyaratannya ialah nasabah dari bank bjb.

“Bagi warga yang belum memiliki atau memilih bank lain bisa terpaut. Ini bisa menciptakan ketidaksetaraan dalam akses,” kata dia.

Rizaldy mengatakan, meskipun disebut tidak ada biaya tambahan atau denda dalam awal peluncuran, namun tetap perlu waspada bahwa dalam jangka panjang mungkin muncul biaya layanan atau penalti cicilan.

“Juga memerlukan regulasi yang jelas agar tidak menjadi beban baru,” ucap dia.

Baca juga: Pemutihan Pajak Jabar Sukses Raup Rp814 M, Target Tunggakan Turun 45 Persen

Keempat, Ruzaldy menyoroti menggunakan aplikasi dan autodebet, maka ada risiko sistem down, data bocor, atau kesalahan transaksi muncul. Jika terjadi masalah teknis, bisa mengganggu wajib pajak dan pemerintah.

Hadirnya terobosan ini, lanjut dia, kemungkinan persepsi pasti bermunculan.

“Misalnya ketidakadilan bagi  yang sebelumnya sudah membayar penuh, bisa muncul rasa ‘kenapa saya harus bayar sekaligus sementara orang lain bisa cicil?” Ini soal persepsi keadilan pajak,” ucapnya.

Untuk itu, kata Rizaldy, sejumlah langkah strategis perlu diperhatikan, mulai dari pemantauan indikator kunci seperti jumlah wajib pajak yang memilih cicilan, tingkat kepatuhan, rasio tunggakan, hingga dampaknya terhadap arus kas PAD.

“Selain itu, edukasi dan sosialisasi menjadi kunci agar masyarakat memahami mekanisme cicilan, risiko gagal autodebet, serta konsekuensi jika mengganti rekening,” katanya.

Di sisi lain, kesiapan layanan teknis seperti aplikasi dan sistem pembayaran juga harus dipastikan aman dan mudah digunakan, terutama bagi masyarakat yang belum terbiasa dengan teknologi digital.

Bapenda juga didorong untuk membuat konten edukatif yang menjelaskan skema ini secara praktis.

“Seperti cara menghitung cicilan atau hal-hal yang perlu diperiksa sebelum mendaftar. Tak kalah penting, evaluasi jangka panjang perlu dilakukan untuk menilai apakah skema ini benar-benar meningkatkan kepatuhan atau justru menimbulkan tantangan fiskal akibat penurunan penerimaan dalam satu waktu,” ucap dia. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved