Psikolog: Remaja yang Gemar Nonton Video Kekerasan Bisa Alami Penurunan Empati

Kebiasaan menonton video kekerasan secara berulang bisa memberi pengaruh besar terhadap perkembangan otak remaja.

Canva
ILUSTRASI MENONTON VIDEO - Kebiasaan menonton video kekerasan secara berulang bisa memberi pengaruh besar terhadap perkembangan otak remaja. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kasus ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta Utara kembali menyita perhatian publik. Pelaku diduga gemar menonton video bergenre gore atau konten yang menampilkan adegan kekerasan.

Psikolog, Miryam A. Sigarlaki, M.Psi., menjelaskan bahwa kebiasaan menonton video kekerasan secara berulang bisa memberi pengaruh besar terhadap perkembangan otak remaja.

“Tontonan bisa berpengaruh cukup besar ya, terutama jika dikonsumsi berulang-ulang tanpa pendampingan. Secara psikologis, otak remaja masih berada dalam fase perkembangan, terutama bagian depan nih, prefrontal cortex, yang bertugas menilai mana yang benar dan salah serta mengendalikan dorongan impulsif,” kata Miryam saat dihubungi, Sabtu (8/11/2025).

Dosen Fakultas Psikologi Unjani ini menyebutkan, kebiasaan menonton adegan kekerasan dapat menyebabkan desensitisasi emosional, yaitu menurunnya kepekaan terhadap penderitaan orang lain.

“Ketika remaja terlalu sering menonton adegan kekerasan, darah, atau tindakan ekstrem, otak mereka bisa mengalami desensitisasi emosional. Artinya, bisa mengalami penurunan kepekaan terhadap penderitaan orang lain. Hal-hal yang seharusnya menimbulkan rasa ngeri atau empati, lama-lama terasa biasa aja,” ujarnya.

Dalam jangka panjang, kata Miryam, kondisi ini dapat membuat remaja lebih mudah meniru perilaku agresif atau menganggap kekerasan sebagai cara untuk melampiaskan emosi.

“Ini membuat sebagian remaja jadi lebih mudah meniru perilaku agresif atau menggunakan kekerasan sebagai cara melampiaskan emosi. Nah, tontonan juga sebenarnya bisa jadi model, role model yang ditiru atau dicontoh. Jadi, secara sadar ataupun tidak sadar, bisa jadi kayak ‘oh caranya kayak gitu ya’, lalu ditiru oleh para remaja karena ada kepuasan tertentu,” paparnya.

Chief Operating Operation (COO) Jatidiri App ini mengatakan, konten kekerasan juga bisa memperburuk kondisi emosional pada remaja yang sudah memiliki luka batin atau tekanan psikologis.

“Papan konten seperti ini juga bisa meningkatkan stres dan kecemasan, terutama pada remaja yang sebenarnya punya luka emosional atau sedang mengalami tekanan. Biasanya otak remaja bisa merekam adegan-adegan tersebut secara tidak sadar dan memunculkan mimpi buruk, ketegangan, atau bahkan overthinking tentang kekerasan,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa adegan negatif lebih mudah diserap otak manusia, terutama remaja yang lebih rentan.

Miryam menegaskan, peran keluarga sangat penting dalam mendampingi dan mendiskusikan isi tontonan anak. 

“Peran keluarga ini sangat penting untuk mendampingi dan mendiskusikan isi dari cerita atau film atau tontonan. Orang tua bisa ngajak anak berdialog, misalnya bertanya ‘menurut kamu adegan itu wajar nggak sih?’ atau ‘kamu merasa apa waktu lihat itu?’,” katanya.

Menurutnya, diskusi semacam ini bisa membantu anak mengasah kemampuan berpikir kritis dan membangun empati, bukan hanya menjadi penonton pasif.

“Dengan begitu anak bisa lebih berpikir kritis dan berempati, bukan hanya menonton secara pasif seperti itu,” tambahnya.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved