TRIBUNJABAR.ID - BANDUNG - Kantor Wilayah Kementerian Hukum Jawa Barat (Kanwil Kemenkum Jabar) pada siang hari ini menerima kunjungan kerja oleh Perangkat Daerah Pemerintah Daerah Kota Bandung (Pemkot Bandung) dalam rangka melaksanakan Rapat Harmonisasi terhadap 4 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Bandung (Selasa, 05/08/2025).
Dari ruang rapat Ismail Saleh, Kanwil Jabar, Kepala Divisi P3H Funna Maulia Masaile bersama Perancang PUU Ahli Madya Harun Surya dan para Perancang PUU Kanwil Jabar melasanakan Rapat Harmonisasi bersama Dinas Kesehatan, Dinas Pengendalian Penduduk, Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Bandung.
Dalam Rapat Harmonisasi ini Kanwil Kemenkum Jabar bersama Pemkot Bandung membahas Raperda mengenai Ketertiban Umum, Ketenteraman Masyarakat dan Perlindungan Masyarakat, Raperda tentang Grand Design Pembangunan Keluarga Kota Bandung Tahun 2025-2045, Perubahan Perda tentang Penyelenggaraan dan Penanganan Kesejahteraan Sosial, serta Raperda tentang Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual.
Pemkot Bandung selaku pemrakarsa Raperda ini menyampaikan bahwa Raperda – Raperda ini disusun karena beberapa masalah yang mereka hadapi di wilayah Bandung, salah satunya yaitu pertumbuhan penduduk yang cenderung menurun sehingga berkurangnya penduduk balita dan bertambahnya jumlah lansia di Kota Bandung.
Masalah lain yang menjadi latar dibentuknya Raperda tersebut yaitu Penataan administrasi terkait pendidikan dan kesehatan yang masih terdapat masalah sehingga ada sebagian masyarakat yang sudah tinggal dan bekerja di Bandung selama bertahun – tahun tapi tidak bisa mendapat layanan kesehatan di kota Bandung.
Sementara itu dalam sambutan oleh Kadiv Funna dan konsepsi oleh Perancang PUU Kanwil disampaikan bahwa Raperda Ketertiban Umum ini dibentuk untuk menggantikan Perda Kota Bandung No. 9 Tahun 2019, namun naskah akademik Raperda tidak mencantumkan analis dan evaluasi untuk penggantian Perda tersebut.
Sementara itu terkait Raperda Penyimpangan Seksual perancang mennyampaikan perlunya definisi hukum yang jelas terkait istilah penyimpangan seksual serta tidak mendefinisikan istilah tersebut sebagai delik atau pelanggaran yang menciptakan stigma dan diskriminasi yang jelas bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi yang dijamin oleh UUD 1945, lebih lanjut penggunaan istilah “penyimpangan” dinilai berpotensi menjauhkan menjauhkan kelompok rentan dari layanan kesehatan.