Rombel SMA di Jabar 50 Siswa

Fortusis Sebut Penambahan Rombel SMA/SMK Langgar 2 Aturan, Dedi Mulyadi: Saya Tanggungjawab

Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Jawa Barat menyebut penambahan rombongan belajar SMA/SMK di Jawa Barat langgar aturan.

|
Penulis: Ahmad Imam Baehaqi | Editor: Kisdiantoro
jaenal abidin/tribun jabar
JAM MASUK (ARSIP) - SMAN 1 Singaparna bakal menerapkan jadwal belajar lebih awal yang diterapkan sesuai surat edaran Gubernur Jawa Barat. Tahun ini, Pemprov Jabar menerapkan kebijakan penambahan rombongan belajar menjadi 50 siswa per kelas. 

"Harusnya konsultasi dulu ketika menemukan kebijakan yang dalam tanda kutip dianggap usang dan perlu ditinjau kembali, sehingga kebijakan berikutnya tidak bertentangan dengan aturan di atasnya, misalnya, berkaitan pendidikan, kan, bisa ke UPI," ujar Dwi Subawanto.

Alasan Dedi Mulyadi Tambah Rombel

Penambahan jumlah rombongan belajar (Rombel) di SMA dan SMK Negeri di Jawa Barat, dari maksimal 36 menjadi 50 siswa merupakan komitmen Pemerintah dalam memberikan pendidikan kepada seluruh warga. 

Hal itu diungkapkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Kamis (3/7/2025). Dikatakan Dedi, Negara meminta rakyatnya untuk sekolah, maka sudah menjadi tugas Pemerintah menyediakan fasilitas dan kemudahan untuk warganya mendapat pendidikan. 

“Negera tidak boleh menelantarkan warganya, sehingga tidak bersekolah, jangan sampai warga mendaftar capek-capek ingin sekolah, tapi negara tidak memfasilitasi, maka saya sebagai Gubernur Jabar bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak di Jabar, saya tidak menginginkan anak-anak Jabar putus sekolah,” ujar Dedi. 

Kebijakan menambah rombel dari maksimal 36 menjadi 50 siswa, merupakan salah satu upaya yang dilakukan agar tidak ada lagi warga yang putus sekolah. 

Dikatakan Dedi, dalam kebijakannya maksimal 50 siswa dalam satu rombel. Artinya, setiap kelas bisa menerima 30, 35 atau 40 siswa. Pertimbangan penambahan rombel itu, kata dia, berdasarkan ketersediaan sekolah di suatu daerah dan kemampuan ekonomi warganya. 

Misalnya, kata dia, di suatu daerah terdapat siswa yang tidak keterima masuk SMA/SMK Negeri terdekat dan karena ketidakmampuan ekonomi, tidak sanggup sekolah ke SMA swasta, sehingga membuat warganya putus sekolah.

“Tidak mampu itu bukan hanya tidak mampu membayar setiap bulan. Bisa saja dia membayar setiap bulan Rp200 atau Rp300 ribu. Tetapi misalnya dia berat diongkos menuju sekolahnya, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil kebijakan, daripada tidak sekolah, dia lebih baik sekolah walaupun di kelasnya 50 siswa,” katanya. 

Tapi, kata dia, itu baru awal. Ke depan, pada semester berikutnya Pemprov Jabar membangun ruang kelas baru dan bisa menurunkan jumlah rombel siswanya. 

“Kenapa cara ini dilakukan, karena darurat. Kenapa darurat, karena daripada rakyat tidak sekolah lebih baik sekolah, daripada mereka nongkrong di pinggir jalan kemudian berbuat sesuatu yang tidak sesuai usianya, lebih baik dia sekolah walaupun sederhana, itu prinsip saya,” ucapnya. 

Selain itu, kata dia, Jawa Barat adalah Provinsi dengan angka putus sekolah yang sangat tinggi, sehingga kebijakan penambahan rombel ini diharapkan dapat menurunkan angka tersebut. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat per November 2024, terdapat 658.831 anak di Jawa Barat yang tidak bersekolah. Angka ini mencakup anak yang putus sekolah (drop out)164.631 anak, lulus tapi tidak melanjutkan 198.570 anak dan yang belum pernah bersekolah sama sekali 295.530 anak.

Dedi pun meminta agar sekolah Negeri di Jawa Barat harus mau menampung siswa yang mendaftar demi mencegah putus sekolah.

“Sekolah negeri yang dimaksud adalah SMA dan SMK Negeri yang merupakan kewenangan Pemprov Jabar, semoga kebijakan ini bisa mencegah masyarakat Jabar untuk tidak putus sekolah,” katanya.
 

 

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved