2 Oknum Guru Lakukan Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren di Agam, 43 Santri Laki-laki Jadi Korban
Jumlah korban dugaan pencabulan terhadap santri laki-laki bertambah menjadi 43 dari sebelumnya 40 orang.
Dia menambahkan kedua guru santri itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan pasal 82 ayat 2 junto pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Baca juga: Geger Guru Ngaji Diduga Lecehkan 10 Murid di Gunungkidul, Diusir dari Kampung Tanpa Istri dan Anak
Tanggapan Pesantren
Juru Bicara MTI Canduang, Khairul Anwar, menegaskan pihaknya telah menangani kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan pengajar dan santrinya dengan “sangat serius”.
"Kami dari pihak MTI Canduang sangat serius dalam menangani kasus ini dan kami selalu berkoordinasi dengan Kepolisian untuk terus mendalaminya," katanya.
Menurutnya, bukti keseriusan pihak MTI Canduang dalam hal ini adalah dengan membongkar kasus tersebut dan tidak menutup-nutupi apa yang terjadi. Khairul mengeklaim MTI Canduang telah mengambil langkah-langkah seperti mengundang orang tua santri hingga membuka posko pengaduan.
"Kami sudah membentuk tim investigasi internal. 40 korban itu hasil tim investigasi internal kami, awalnya hanya lima orang," katanya, seraya menambahkan dari 40 korban tersebut tiga di antaranya diduga mengalami tindak sodomi, sementara 37 lainnya diduga menjadi korban pelecehan seksual.
“Kami bentuk tim hukum 10 orang dari pengacara dan alumni. Kami evaluasi proses pembelajaran di luar sekolah yang ada di asrama," ujar Khairul kemudian.
Khairul menambahkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan jaringan psikolog untuk melakukan pemeriksaan dan pendampingan psikologi terhadap para korban.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Agam, Surya Wendri, mengatakan pihaknya telah turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan psikologis.
Pihaknya juga melakukan pendampingan, termasuk mendampingi korban saat pemeriksaan di Polresta Bukittinggi.
"Tim nantinya akan mendampingi seluruh korban untuk menghilangkan traumanya. Tetapi ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama," ujar Surya, Kamis (01/08).
Baca juga: LPSK Catat hingga Juni 2024, Ada 421 Permohonan Perlindungan Terhadap Anak Terkait Kekerasan Seksual
Trauma dan stigma negatif
Kuasa hukum salah satu korban, Masrizal, mengakui bahwa kliennya tersebut mengalami trauma yang sangat mendalam usai kejadian pahit yang dialami.
Bahkan, ketika mendengar nama MTI, “dia langsung menangis”, kata Masrizal. Santri tersebut akhirnya memilih untuk berhenti bersekolah di MTI , kata Masrizal.
Dia berharap, kliennya mendapatkan penyembuhan trauma sehingga dapat kembali melanjutkan sekolah dan menjalani kehidupan normal. Akan tetapi, klaim Masrizal, ternyata tak mudah mendapatkan pesantren baru untuk menimba ilmu.
"Setiap pesantren yang dikunjungi oleh orang tua klien saya ini menolak siswa dari MTI" ungkap Masrizal.
Hal itu, kata Masrizal, tak lepas dari stigma negatif bahwa “korban pelecehan seperti ini biasanya akan mencari korban baru”.
Menanggapi hal tersebut, Surya Wendri dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Agam, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan pendampingan hingga korban dapat melupakan kejadian pahit yang telah menimpa 40 korban tersebut.
"Yang terpenting di sini adalah memutus mata rantai kemungkinan korban menjadi pelaku dalam kejadian-kejadian selanjutnya," tutupnya.
Sosiolog dari Universitas Andalas di Sumatra Barat, Indah Sari Rahmaini, mengungkapkan bahwa “stigma negatif memang akan didapatkan oleh korban pelecehan seksual, khususnya di Minangkabau”.
Akibat stigma negatif itu, kata Indah, korban merasa terisolasi dari masyarakat dan merasa dipermalukan.
"Hal inilah yang membuat sebuah kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah dan kampus sulit untuk terungkap," ungkap Indah.
Ia menegaskan, seharusnya masyarakat bisa memahami bahwa "kasus pelecehan seksual bukanlah aib bagi korban", tetapi "sebuah tindakan kejahatan yang harus diberantas".
Pandangan terhadap korban pelecehan seksual itu menurutnya harus dimulai dari level keluarga, teman sebaya, dan masyarakat seperti tokoh-tokoh adat, alim ulama, cadiak pandai.
"Orang tua juga tidak boleh memberikan stigma negatif terhadap korban. Mungkin saja, perlakuan yang didapatkan oleh anak tersebut terjadinya karena adanya ancaman," katanya.
Baca juga: Polisi Sebut Balita 4 Tahun Korban Dugaan Kekerasan Seksual di Majalengka Sempat Menolak Divisum
Lebih jauh, Indah menegaskan bahwa perlindungan terhadap korban pelecehan seksual tersebut tidak hanya merupakan tugas negara, tetapi seluruh masyarakat.
"Karena korban ini kan hidup di tengah masyarakat, tentunya masyarakat tidak seharusnya memberikan stigma negatif terhadap korban," tutupnya. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul 43 Santri Pondok Pesantren Jadi Korban Kekerasan Seksual, 2 Guru Ditetapkan Tersangka,
Bupati Cirebon Dukung Langkah Telkom Tingkatkan Kecakapan Digital Guru Lewat Program IDL 2025 |
![]() |
---|
LINK dan Cara Aktivasi Rekening di Info GTK Kemendikdasmen, Cairkan Insentif Guru Non-ASN Rp2,1 Juta |
![]() |
---|
LINK dan Cara Cek Status Tunjangan Profesi Guru 2025 Sudah Cair atau Belum, Lengkap Besarannya |
![]() |
---|
Kasus Kekerasan Seksual pada Mahasiswi di Cikarang, Anggota DPR RI Minta Polisi Tak Ada Kata Damai |
![]() |
---|
Viral Video Siswi SMK Acungkan Jari Tengah ke Guru di Gowa, Orang Tua Lesu Anak Disanksi Tegas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.