Meswara Sarankan Bawaslu Uji Kebijakan KPU Soal Debat Cawapres ke DKPP, Dugaan Pelanggaran Kode Etik

Organisasi pemerhati Pemilu, Meswara, mengkritisi kebijakan KPU yang meniadakan debat khusus cawapres dalam Pilpres 2024.

|
Penulis: Mega Nugraha | Editor: Mega Nugraha
Tribunnews/Mafani Fidesya Hutauruk
Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat 

TRIBUNJABAR.ID,BANDUNG- Organisasi pemerhati Pemilu, Meswara, mengkritisi kebijakan KPU yang meniadakan debat khusus cawapres dalam Pilpres 2024.

Ketua Meswara, Solihin, mengatakan, kebijakan KPU yang meniadakan debat khusus antar cawapres keluar dari aturan Undang-undang Pemilu yang mengamanatkan adanya debat cawapres.

"Keputusan KPU itu mengingkari undang-undang. Kita tahu bahwa Pasal 277 ayat 1 Undang-undang Pemilu mengamanatkan agar debat cawapres digelar dua kali. Diperkuat lagi oleh aturan yang dibuat KPU, PKPU, mengamanatkan agar KPU melaksanakan debat capres dan cawapres sebanyak 5 kali, tiga kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres. Itu aturannya, sudah jelas," ujar Solihin, di Bandung, Sabtu (2/12/2023).

Padahal, kata dia, Pilpres 2019, KPU saat itu menggelar debat khusus cawapres, di samping debat capres.

"Kita bisa merujuk pada Pilpres 2019 ada debat cawapres. Dengan begitu, kita tidak hanya bisa fokus mencermati kualitas capres, tapi juga kualitas dan kapabilitas cawapresnya," katanya.

Meswara  yang bermarkas di Bandung itu, menyarankan agar Bawaslu RI menguji kebijakan KPU itu ke DKPP sebagai dugaan pelanggaran kode etik terkait kepatuhan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Ubah Format Debat Pilpres 2024, Maman Imanulhaq: KPU Langgar UU Pemilu

"Kami menyarankan agar Bawaslu RI menguji kebijakan itu ke DKPP sebagai dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, karena prinsip penyelenggara pemilu harus profesional dan berkepastian hukum. Rujukannya Pasal 6 ayat 3 huruf a Peraturan DKPP Tentang Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu, dalam hal bahwa penyelenggara pemilu melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sesuai undang-undang," katanya.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Erik Ardiyanto, menambahkan, ada pesan komunikasi politik tersirat di balik kebijakan tersebut. Yakni, disinyalir, adanya konflik kepentingan di balik kebijakan KPU meniadakan debat cawapres.

Kontruksi fakta peristiwanya, kata dia, ada dua cawapres yang keduanya lebih berpengalaman di bidang pemerintahan hingga legislatif bahkan yudikatif dibanding satu cawapres.

"Anasir pesan dan sinyalemen itulah yang sekarang berkembang di tengah publik, bahwa kebijakan peniadaan debat cawapres itu bisa jadi atau diduga menguntungkan pihak tertentu," kata Erik, penulis buku Buku Komunikasi Politik Aktivisme & Sosialisme itu, saat dihubungi pada Sabtu (2/12/2023).

Karenanya, ia menyayangkan atas kebijakan KPU yang meniadakan debat cawapres tersebut. Padahal, kata dia, debat cawapres bisa menguatkan peran masing-masing cawapres untuk meyakinkan pemilih.

"Selain debat antar capres, debat antar cawapres juga penting untuk menguji gagasan secara langsung antar cawapres dalam pemilu, seperti halnya pada debat cawapres 2019," kata Erik.

Menurutnya, bagaimanapun, debat cawapres bisa mendorong partisiplasi pemilih, terutama pemilih muda. Apalagi, ada Gibran Rakabuming sebagai representasi cawapres termuda di Pilpres 2024.

"Publik menanti ide dan gagasan dari para cawapres mengingat waktu pemilihan sebentar lagi, jangan sampai kemudian peniadaan ini memancing reaksi yang tidak baik oleh nitizen atau masyarakat di media sosial," katanya.

Sementara itu, KPU membantah meniadakan debat cawapres. Yang ada, debat cawapres tersebut digabung dalam debat capres sehingga bisa menunjukan kekompakan antar capres-cawapres.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved