Guru Rudapaksa Santri
Menanggung Luka, Santri Korban Herry Wirawan Melahirkan di Usia 14 Tahun, Kasusnya Menguras Emosi
Salah satu korban rudapaksa guru pesantren di Kota Bandung tersebut baru berusia 14 tahun saat melahirkan.
TRIBUNJABAR.ID - Kasus guru rudapaksa santriwati menarik perhatian banyak pihak. Tak sedikit orang yang geram dengan kelakukan bejat Herry Wirawan, pelaku rudapaksa.
Akibat aksi bejat Herry Wirawan (36), belasan santri harus menanggung derita dan trauma.
Salah satu korban rudapaksa guru pesantren di Kota Bandung tersebut baru berusia 14 tahun saat melahirkan.
Santriwati malang tersebut melahirkan November 2021 lalu.
Baca juga: Korban Rudapaksa Herry Wirawan Belum Dapat Bantuan dari Pemprov Jabar, Susu Bayi Pun Beli Sendiri
Anak pertamanya berusia 2,5 tahun sementara anak keduanya lahir baru beberapa bulan lalu.
DIlansir dari Kompas.com, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan, mengatakan keluarga korban tak ingin dipisahkan dengan anak korban.
"Saya nengok ke sana (rumahnya), menawarkan (bantuan) kalau enggak sanggup merawat, ternyata mereka tidak ingin dipisahkan anaknya, dua-duanya perempuan," ujarnya.
Setelah korban melahirkan, Diah pun menawarkan bantuan jika orangtuanya tidak sanggup mengurus. Namun, orangtuanya mau mengurusnya.
"Setidaknya, mereka sudah menerima takdir ini, nanti saya berencana mau nengok juga ke sana," katanya.
Dari belasan korban perkosaan guru pesantren bernama Herry Wirawan tersebut, 11 di antaranya dari Garut, Jawa Barat.
Mereka masih ada pertalian saudara serta bertetangga.
Diah merasakan betul rasa kecewa, marah, dan perasaan yang berkecamuk dari para orangtua santri dari Garut yang anaknya menjadi korban rudapaksa gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.
Diah sendiri menyaksikan pilunya momen pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya.
Anak-anak itu sebelumnya dianggap tengah menuntut ilmu di pesantren ternyata telah memiliki anak setelah dicabuli guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.
Baca juga: Saat Kasus Herry Wirawan Dirahasiakan, Kades di Garut Khawatir Mafia Hukum Bermain
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya, enggak, semuanya nangis," kenang Diah.
Peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.
Kondisi yang sama, menurut, Diah juga terjadi di kantor P2TP2A Garut saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.
Menurut Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Bukan orang mampu
Menurut Diah, P2TP2A menawarkan berbagai solusi kepada anak-anak dan orangtuanya terkait posisi anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru ngajinya.
Bahkan, jika para orangtua tidak mau mengurusnya, P2TP2A siap menerima anak tersebut.
Baca juga: Kasus Herry Wirawan Mencuat Disyukuri Kades Ini, Sempat Khawatir: Pejabat Tahu tapi Tak Komunikasi
Sebab, menurut Diah, para orangtua korban bukan orang-orang yang tergolong mampu.
Mereka kebanyakan adalah buruh harian lepas, pedagang kecil, dan petani yang tadinya merasa mendapat keuntungan anaknya bisa pesantren sambil sekolah gratis di pesantren tersebut.
"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya.
Menguras emosi
Kasus ini, menurut Diah, sangat-sangat menguras emosi semua pihak, apalagi saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.
"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Di Usia 14 Tahun, Santriwati Korban Perkosaan Guru Pesantren 2 Kali Melahirkan, Terakhir November 2021 "