Temuan Baru, Susu Sapi A2 Baik untuk Saluran Cerna, Dukung Imunitas dan Kurangi Risiko Penyakit
Profesor Keith Woodford, Profesor Kehormatan Sistem Agri-Food dari Lincoln University, Selandia Baru
TRIBUNJABAR.ID - Profesor Keith Woodford, Profesor Kehormatan Sistem Agri-Food dari Lincoln University, Selandia Baru, hadir pertama kali di Indonesia dalam acara PDGKI bertema A Closer Look in Malnutrition and Malabsorption: The Acknowledgment of Beta-Casein A2s Benefit di Jakarta, belum lama ini.
Memiliki pengalaman dan kepedulian terhadap manfaat besar susu sapi A2 atau dalam bahasa ilmiah disebut beta-kasein A2, Profesor Keith Woodford mengungkapkan fakta-fakta terbaru tentang susu sapi A2, yaitu sifatnya yang mudah dicerna karena terdiri dari seratus persen beta-kasein A2, mengurangi resiko penyakit serius, dan lebih baik untuk meningkatkan imunitas tubuh.
"Awalnya, semua sapi merupakan tipe A2. Istilah A2 mengacu pada karakteristik beta-kasein dalam susu. Beta-kasein ialah jenis protein yang penting yang terdapat dalam semua susu mamalia," katanya dalam rilisnya, Senin (15/3/2021).
Menurut Profesor Keith Woodford, adanya mutasi genetika sapi membuat munculnya sapi A1 yang menghasilkan susu sapi yang mengandung beta-kasein A1 dan susu sapi A2 yang mengandung beta-kasein A2. Beta-kasein A1 dicerna secara berbeda dibandingkan dengan beta-kasein A2.
Baca juga: Ciamis Dilanda Cuaca Ekstrem, Pengrajin Opak Setan Terpaksa Datangkan Singkong dari Magelang
"Beta-kasein A1 melepaskan fragmen yang disebut sebagai beta-casomorphin-7 (BCM-7). Fragmen BCM-7 inilah yang menyebabkan timbulnya masalah kesehatan pada tubuh, dia ntaranya masalah pencernaan. Padahal itu adalah intoleransi terhadap beta-kasein A1, penyakit jantung, diabetes tipe 1, dan autoimun," kata Profesor Keith Woodford.
Beta-casomorphin-7 (BCM-7) yang terkandung dalam susu sapi A1 dapat mengakibatkan efek jangka panjang bagi kesehatan. Dan organ tubuh manusia memiliki apa yang disebut dengan reseptor mu-opioid (μ-opioid).
Menurut Keith Woodford, apabila BCM-7 masuk ke dalam sistem peredaran darah, BCM-7 kemudian mengalir ke organ tubuh yang memiliki reseptor mu-opioid dan menempel pada reseptor ini yang berakumulasi dalam jangka panjang memiliki efek negatif untuk kesehatan.
"Organ yang dapat terpengaruh termasuk jantung, paru-paru, pankreas, ginjal, dan otak. Oleh karena itu, BCM-7 merupakan salah satu faktor pemicu resiko penyakit jantung, diabetes tipe 1, berbagai kondisi pernapasan hingga berpengaruh pada kesehatan psikologis dan mental. Namun, hal ini juga dipengaruhi oleh genetika individu masing-masing," katanya.
Menurutnya, BCM-7 menyebabkan inflamasi (peradangan), baik di saluran pencernaan maupun di organ dalam. Ini juga mengarah pada kondisi autoimun dimana tubuh menyerang dirinya sendiri.
Diabetes tipe 1 dan penyakit jantung merupakan dua contoh penyakit autoimun. Kerentanan terhadap penyakit autoimun tertentu dapat dipengaruhi pula oleh faktor genetik, tetapi semakin terbukti bahwa beta-kasein A1 merupakan pemicu penting.
Baca juga: Mau Bikin Even atau Konser Musik Saat Pandemi di Kota Bandung ? Ini Prosedur yang Harus Ditempuh
Selain itu, lanjut Keith Woodford, BCM-7 juga dapat menyebabkan peradangan di dalam sistem pencernaan manusia. Senyawa ini juga memperlambat jalannya makanan, sehingga meningkatkan kemungkinan fermentasi laktosa (gula susu) yang menyebabkan kembung, sakit perut, mual dan rasa tidak nyaman pada perut atau biasa dikenal dengan intoleransi laktosa.
"Solusi untuk mengurangi resiko terhadap permasalahan kesehatan ini adalah dengan mengurangi konsumsi susu sapi biasa (A1) 100%. Susu sapi A2 yang hanya memiliki kandungan beta-kasein A2 sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh manusia," katanya.
Saat tubuh mengkonsumsi susu sapi A2 dan mencerna beta-kasein A2 tidak akan terbentuk senyawa BCM-7 sehingga tidak akan menimbulkan efek pada kesehatan manusia, seperti rasa tidak nyaman pada perut ataupun resiko penyakit serius lainnya,tambah Profesor Keith.
"Pada awal tahun 1990-an, anak-anak Samoa yang tinggal di Selandia Baru terkena penyakit diabetes tipe-1 sehingga diperlukan suntikan insulin setiap harinya. Akan tetapi di Kenya, anak-anak yang mengkonsumsi susu sapi dalam jumlah yang tinggi justru tidak terkena penyakit tersebut," katanya.
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh Profesor Bob Elliott, ditemukan bahwa susu sapi di Kenya mengandung beta-kasein A2. Oleh karena itu, jelas bahwa penyebab utamanya bukanlah berapa banyak susu sapi yang dikonsumsi, namun berapa banyak kandungan beta-kasein A1 yang dikonsumsi.