Lika-liku Leida Gadis 18 Tahun yang Seorang PSK, Ketukan di Kamar sampai Berbagi saat Pelanggan Tiba
Leida bukan, nama sebenarnya, bersama dua temannnya patungan menyewa kontrakan dua kamar di bilangan Kelurahan Grogol, Kecamatan Limo.
Gadis 18 tahun ini mengaku, keretakan rumah tangga orangtuanya di Riau sedikit banyak membuatnya memilih profesi sebagai pekerja seks komersial.
"Orang tua sudah pisah, terus aku ngerantau. Kenalan sana-sini, ya sudah jadi tinggal di sini deh," kenang Leida.
Mudahnya mendapat rupiah, membuat Leida anteng melayani para pria hidung belang yang mencari kepuasan dari orang sepertinya.
"Lumayan kan, sehari bisa (melayani) empat sampai lima lah. Dikalikan saja tuh uangnya," ucap Leida.
Ia tak lagi memikirkan bangku pendidikan. Leida hanya tamatan sekolah menengah atas ini hanya berpikir, bagaimana bertahan hidup seorang diri tanpa kasih sayang keluarga.
"Tadinya sudah ngelamar kerja. Tapi gak pernah dipanggil. Lagian juga gajinya gak seberapa kan namanya juga lulusan SMA," kata dia.
Pelanggan berlalu, Leida kembali melirik ponselnya. Kini, ia siap kembali menebar umpan untuk calon pelanggan berikutnya.
Tak butuh waktu lama, Leida mendapat pelanggan baru. Ia langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum memberi servis.
Profesi Sampingan
Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan tidak ada hal baru yang mendorong seseorang terjun dalam dunia prostitusi.
“Dulu memang ekonomi lebih dominan ya. Nah, berdasarkan penelitian di Eropa 10 tahun lalu, di zaman digital ini siapapun bisa menjadi pelaku prostitusi,” tutur Devie kepada TribunJakarta.com.
Bedanya, kata Devie, dulu pekerja seks komersial full time menjalani profesinya. Saat ini di Eropa, menjadi pekerja seks hanya sampingan.
“Nah, orang itu bisa mandiri artinya ketika mereka ada kebutuhan uang mereka bisa mencari kebutuhan tambahan, jadi part time,” ungkap dia.
Menurut Devie, fenomena ini bisa terjadi juga terjadi Indonesia. Apalagi, bisnis prostitusi saat ini peluangnya semakin mudah dengan adanya teknologi.
“Di Eropa dan di sini sama ya. Media sosialnya sama, internetnya sama. Jadi tidak menutup kemungkinan (bisnis prostitusi bertahan, red),” terang dia.