Cerpen Toni Lesmana

Podol

Namun apa yang didapatnya ketika pintu terbuka, seseorang memunggunginya dengan tubuh bergetar sedang memelorotkan celana

Editor: Hermawan Aksan
Ilustrasi Podol 

Podol mendadak menggigil, ia mundur sambil melolong.

"Kaulah yang datang, kekasih. Kaulah yang tadi mengetuk pintu. Kenapa kau pergi lagi hanya karena malu gara-gara tahimu sendiri. Aku telah menantimu bertahun-tahun, ini seperti berabad-abad lamanya." Podol mendorong kursi dan meja, membuat ruang luas, menghamparkan kanvas-kanvas kosong, menyeret kaleng-kaleng cat, menghamburkan kuas.

Larut malam ia meraung-raung sendiri. Bergulingan di atas lukisan dengan tubuh bugil. Betapa nampak Podol begitu serupa dengan lukisannya sendiri. Manusia gundul berpantat belang yang terus bergerak dalam beragam posisi dalam tumpahan banyak warna. Tubuhnya dipenuhi warna. Berbaju warna-warna.

**

PAGI hari, Podol yang hanya berbaju cat warna-warni nampak berjongkok di depan pintu. Diraihnya tahi yang sudah mengering dengan kedua tangannya. Lalat-lalat masih berpesta. Diciumnya sedap. Diangkat tinggi-tinggi, kemudian ditarik ke sejajar dada. Ia berjalan hati-hati ke arah halaman seperti seseorang yang sedang membawa cahaya lilin dalam kegelapan.

Dari setiap halaman rumah. Rumah-rumah kumuh yang berjejalan saking padatnya. Muncul orang-orang yang serupa dengan Podol. Bugil warna-warni. Bahkan sama-sama membawa tahi dan dengung lalat di tangannya layaknya membawa lilin. Bahkan meneriakkan kalimat yang sama dengan irama dan suara yang sama pula.

"Tahukan kau tahi siapa yang ada dalam genggamanku? Inilah tahi kekasihku!"

Mereka berjalan ke arah gang. Kemudian berjalan sepanjang gang.

"Inilah tahi kekasihku. Akan kucari ia dengan tahinya sendiri. Ia kekasihku yang datang karena setia dan pergi karena malu." Mereka terus berjalan memenuhi gang membawa tahi dan dengung lalat, layaknya membawa sesuatu yang berharga, berkali-kali menciumnya seperti mencium bunga. Podol, dan mereka yang mirip Podol, berjalan beriringan sepanjang gang yang sempit dan banyak cabang. Hilir mudik.

Gang yang terus bercabang, terus bercabang, melingkar, berbelit-belit. Tanpa ada jalan keluar. Mereka terus berjalan dengan gerak dan langkah yang sama, dengan kalimat dan irama yang sama.

"Tahukah kau ini tahi siapa? Inilah tahi kekasihku. Tahi kekasihku!"

Podol, dan puluhan bahkan ratusan Podol lainnya, terus menyusuri gang mencari kekasih. Mereka berteriak-teriak mengulang-ulang kalimat itu, lama-lama terdengar seperti melolong. Gang semakin penuh namun terasa begitu sunyi. Gang yang terus pecah bercabang, terus bercabang, melingkar, berbelit-belit. Tanpa ada jalan keluar. Dan Podol terus melolong.

***

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved