Cerpen Toni Lesmana
Podol
Namun apa yang didapatnya ketika pintu terbuka, seseorang memunggunginya dengan tubuh bergetar sedang memelorotkan celana
PODOL sedang mengenakan baju terbagus yang dimilikinya, baju yang selama sepuluh tahun disimpan, kemeja kotak-kotak dan celana jins cokelat. Kepala gundulnya masih basah, ia becermin sambil bersiul-siul, badannya bergoyang-goyang mengikuti irama siul. Tiba-tiba, terdengar ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan tergesa. Ketukan yang seperti mengabarkan sebuah kondisi yang gawat dan segera perlu pertolongan. Ketukan itu mengingatkan Podol pada sirene ambulans.
Tentu saja Podol yang segar dan ceria memburu sang tamu. Ibarat dokter yang sigap menyambut pasien. Namun apa yang didapatnya ketika pintu terbuka, seseorang memunggunginya dengan tubuh bergetar sedang memelorotkan celana, tampak jelas pantat belang merosot jongkok, terdengar suara erangan tertahan. Pluk. Tahi berjatuhan menumpuk sepuluh sentimeter dari ujung ibu jari kaki kanan Podol.
Podol tercekat. Mulut yang masih bersiul mendadak manyun kaku.
Kejadian yang begitu cepat. Layaknya sebuah tamparan. Sang tamu berdiri pergi begitu saja sambil menaikkan celana. Berlari. Punggungnya melesat lenyap di kelokan gang.
Podol mematung. Hanya wajahnya menampakkan mimik jijik, kemudian muncrat. Sesaat ia seperti hendak mengejar sang tamu yang telah entah sampai mana. Kaki kiri sudah terangkat, tertahan di atas tumpukan tahi, ditarik kembali.
Susah memang mengejar orang dalam jalur gang yang begitu banyak cabangnya. Podol sendiri masih sering tersesat padahal sudah sepuluh tahun ia tinggal di kota ini. Kota yang sekonyong-konyong hadir, seperti muncul begitu saja dari dalam tanah, menyambutnya ketika dulu ia kabur dari kampungnya. Kota yang padat, berjejalan, tapi sunyi seperti tak berpenghuni.
Pada akhirnya tubuh Podol bergetar hebat dan dari mulutnya muntah muncrat tepat di atas tahi sang tamu. Perlahan mundur dan secepat kilat membanting pintu lantas berlari ke kamar mandi, menuntaskan sisa muntah yang berontak ingin lekas muncrat lagi.
Di teras, di depan pintu yang tertutup, tahi dan muntah saling peluk dalam limpahan cahaya senja. Lalat-lalat berdatangan. Pesta.
**
"PODOOOL!" teriakan menggedor-gedor malam.
Podol muncul dengan tubuh basah yang cuma dibalut handuk. Kiranya ia mandi lagi. Mandi untuk kesekian kalinya. Usai perjumpaannya dengan pantat belang dan tahi yang menumpuk Podol terus diserang mual. Perutnya tak henti berontak. Selalu setelah mandi ia kembali tersungkur muntah.
Muntah bertebaran. Mulai dari dapur. Ruang makan. Ruang tengah. Ruang tamu. Bahkan kamar. Podol kini nampak pucat dan lemas. Ia duduk di kursi sambil berusaha menahan gejolak isi perut yang masih berontak. Padahal ia yakin semuanya sudah habis terkuras. Terakhir hanya cairan kuning yang meleleh dari mulutnya. Ia mirip seseorang yang mabuk laut.
Matanya lemah menatap jam bulat, sebulat kepalanya, jarum panjang dan pendek seperti garis lurus. Pendek mengarah ke angka sembilan dan panjang ke angka angka tiga. Sementara jarum runcing merah detik, seperti seorang pelari dalam gerak lambat, begitu lambat seakan-akan melayang tak hendak sampai memijak.
Malam yang berat dan lambat.
Podol bersandar. Payah.