Cerpen Toni Lesmana

Podol

Namun apa yang didapatnya ketika pintu terbuka, seseorang memunggunginya dengan tubuh bergetar sedang memelorotkan celana

Editor: Hermawan Aksan
Ilustrasi Podol 

"Podol!" terdengar lagi teriakan dari luar rumah. Mula-mula pelan saja. Lama-lama makin keras. Mula-mula seperti satu suara, lama-kelamaan terdengar seperti banyak orang. Susul-menyusul seperti berondongan salak senapan.

Podol tak kuasa menjawab. Hanya matanya yang bergerak-gerak lambat, seperti menahan untuk tidak terpejam. Sebab sesaat saja terpejam, bayangan pantat belang dan tumpukan tahi akan masuk menyerbu dan berpesta dalam kepalanya. Jika itu terjadi, mual kembali akan datang menyiksa. Memaksanya muntah padahal tak ada lagi yang bisa dimuntahkan.

"Bangsat...," bisik Podol lemah hampir tak terdengar.

Podol meyakini suara-suara di luar adalah suara-suara lalat yang masih berpesta di depan pintu. Pintu yang terus tertutup sejak ia banting tadi sore. Pintu yang tertutup tapi tak dikunci. Jika ada seseorang yang hendak datang, tinggal membukanya. Tapi tak ada yang datang. Padahal Podol sesungguhnya sedang menunggu seseorang yang seumur hidup ditunggunya. Seorang kekasih dari masa kecil. Dia yang tinggal jauh di kampung, bertahun tak berjumpa. Kekasih yang tadi pagi mengabari akan datang di sore hari. Podol selama ini selalu mengirim surat kepada kekasihnya, dan baru tadi pagi mendapat balasan. Sepuluh tahun penantian yang hampir membuatnya gila.

"Podol!" teriakan-teriakan terus berlangsung.

Podol berusaha mengingat sosok tamu yang menjadi penyebab dari seluruh malapetaka ini. Sekilas tertangkap bayangan kepala gundul, kemeja kotak-kotak, celana jins cokelat. Ia terkejut. Persis dirinya. Pakaian yang sama. Dan pantat belang itu, ia tak bisa memastikan apakah pantatnya sendiri juga belang, sebab ia tak pernah tahu keadaan pantat sendiri.

Ia menahan mual jahanam. Menutup mulut erat-erat. Tubuhnya terguncang lemah. Jari-jarinya berusaha mencengkeram sandaran kursi. Tatap nanarnya merayap dari lukisan ke lukisan yang memenuhi dinding, sebagian menumpuk di bawah. Matanya seperti ingin berpegangan pada warna-warna dan bentuk dalam kanvas-kanvas itu.

Podol adalah pelukis, setidaknya begitu ia menyebut dirinya selama ini. Sepuluh tahun ia habiskan waktunya untuk melukis sang kekasih. Semua objek dalam lukisannya adalah manusia gundul dalam berbagai posisi dengan limpahan dan komposisi warna yang beragam. Terdapat coretan-coretan kata-kata dalam setiap lukisannya. Sebagian kata-kata pendek, sebagian begitu panjang sehingga hampir memenuhi lukisan. Ia meyakini itu adalah pernyataan cinta paling murni.

Tentu, malam ini seharusnya ia dan kekasihnya sedang menikmati semua lukisan itu, bahkan lukisan yang masih terdapat dalam kepalanya. Ia ingin menunjukkan betapa keputusannya untuk pergi dari kampung dengan membawa seluruh hasil penjualan warisan yang didapatnya adalah untuk menumpuk rindu, ia ingat menjual seluruh warisan itu sebulan sebelum kematian kedua orang tuanya, dan inilah hasilnya, lukisan-lukisan yang semuanya wujud dari kerinduan. Nun, jauh di kampung ia tak bisa tenang melukis, orang-orang kampung selalu mencemoohnya, mengolok-oloknya. Ya, hanya kekasihnya yang selalu setia menemaninya sepanjang waktu. Maka alih-alih sedih saat kematian orang tuanya karena terjun bersama-sama ke dalam sumur, tepatnya ia dorong mereka dengan bantuan kekasihnya, ia diam-diam bahagia karena bisa kabur dari kampung dengan bekal yang lebih dari cukup.

Hanya saja kekasihnya tak bisa ikut pergi karena telah berjanji untuk menunggui makam kedua orang tuanya selama sepuluh tahun. Kekasihnya memang kesayangan orang tuanya, mungkin karena sangat setia menemani Podol, sampai-sampai kekasihnya membalas sayang itu dengan janji yang tak bisa diingkari. Ya, menunggui sumur itu sepuluh tahun. Tentu Podol menemaninya dari jauh dengan surat-surat yang tak pernah putus. Dan malam ini adalah tepat tahun kesepuluh.

Hari pertemuan di mana semua lukisan akan diserahkan kepada pemiliknya. Podol akan memberikan semuanya. Sepanjang hari ia bersolek menunggu kedatangan kekasih, yang dalam angannya akan datang seperti seorang pasien kronis pada dokter yang akan menyembuhkannya.

Namun semuanya gagal gara-gara si pantat belang. Ia membayangkan kekasihnya itu sesungguhnya datang ketika ia sibuk muntah di kamar mandi, namun kekasihnya terhadang tahi dan tumpahan muntah di depan pintu, lantas marah dan pergi lagi sambil mengutuk Podol. Bayangan akan kemarahan sang kekasih dan kepergian yang tak akan kembali lagi membuatnya luluh lantak. Podol mengenal kekasihnya seperti ia mengenal dirinya sendiri, yang tak akan ada maaf ketika kedatangannya yang penuh cinta malah disambut dengan tahi dan muntah. Dan lalat yang berpesta.

"Podoool!" suara-suara dari luar hinggap ke telinga Podol sebagai dengung lalat. Lama-lama hilang sendiri seiring keberhasilannya menahan dan menekan mual. Napasnya mulai teratur, pelahan sudah mampu mengusap keringat yang membanjiri wajahnya. Ia berusaha berdiri. Limbung. Handuk hampir merosot dan lolos. Susah payah menarik dan membelitnya kembali.

Berjalan sempoyongan dari satu lukisan ke lukisan yang lain. Menjejerkan lukisan yang masih menumpuk. Membuka semua yang masih dalam kanvas yang tergulung di setiap sudut ruangan. Semuanya dilihat dengan mata yang nanar melayang.

"Kekasih, kekasih...," begitu ia terus berbisik pada setiap lukisan. Sampai pada sebuah lukisan telanjang berlatar hitam, manusia gundul yang sedang jongkok berpantat belang.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved