Cerpen Risda Nur Widia

Kelepak Sayap Malaikat Kematian

TAK pernah menyangka sebelumnya sekelebat cahaya yang melintas di depannya itu kini tiba-tiba berubah menjadi sesosok mahkluk dengan sepasang sayap...

Editor: Hermawan Aksan
Ilustrasi Kelepak Sayap Malaikat Kematian 

TAK pernah menyangka sebelumnya sekelebat cahaya yang melintas di depannya itu kini tiba-tiba berubah menjadi sesosok mahkluk dengan sepasang sayap yang memandangnya tajam; menteleng menusuk tubuh yang terpajak beku di tubir kursi. Sosok itu tampak begitu gagah. Sosok cemerlang dengan cahaya keperakan yang menyeruak mencolok mata. Melihat sosok itu, tubuh pria itu pun sekejap meremang. Pada malam yang buta, di ruang tamunya yang temaram, pria paruh baya itu bagai sedang didatangi seorang tamu malaikat pencabut nyawa.

Tanya pria itu gamang dan pelan: "Siapa kau?"

"Aku adalah kau! Dari setiap ucapmu dan doamu!"

Pria itu mengernyit tak paham. "Jangan kau permainkan aku! Siapa kau?!"

"Aku adalah kau! Dari setiap tingkahmu! Ingkarmu! Pengkhianatanmu!"

"Jangan permainkan aku!" Pria itu gusar. "Siapa kau?!"

"Aku adalah kau! Dari dosa-dosamu," sepasang sayapnya yang kekar merentang luas. Kemudian disusul dengan kerdap angin topan yang berdesir muncul dengan begitu kencang mengempas tubuh. "Lihatlah sayap-sayapku, Tarno!"

Pria itu tergeragap. Tubuhnya sempat terseret beberapa meter ketika angin mengempas. Ia merasakan guncangan dahsyat. Begitu kuat. Tidak terbendung oleh tembok tebal sekalipun. Sayap-sayap itu terbuka sangat lebar; mengibarkan setiap ujung-ujungnya yang gemilang: megah. Sekilas bahkan terbentang sebuah langit berserta isinya di dalam kelepak sayap itu.

Dari kerdap sayap itu pun muncullah sekelebat bayang-bayang hitam; sosok-sosok asing dengan wajah yang dipenuhi dendam dan amarah; sosok-sosok yang menancapkan sepasang mata tajam memandang. Lantas, tiba-tiba, lolong tangis mendenging. Pria itu mendengar jeritan dan tangis dari balik sayap itu, syahdan disusul suara letusan pistol dan denting pedang di dalam kerdap sayap tersebut.

Bergidik tubuh pria itu saat samar-samar di dalam kelepak sayap, ia melihat dirinya yang meringkuk dikelilingi oleh topeng-topeng suram berwarna merah. Ia melihat dirinya sendiri yang sedang dikelilingi oleh iblis-iblis berwajah durja. Mengutuknya. Mengumpat. Dan memeram dendam.

"Lihatlah! Itu adalah kau bersama dosa-dosamu, Tarno!" Sosok itu berujar.

Pria itu tak menjawab, dan tak lekang pandangannya menempel pada setiap klise waktu yang berputar-putar di kepak sayap itu. Bayangan-bayangan lain mulai saling menyusul; menyebul-nyebul, beriringan dengan empas angin kencang. Dan pria itu merasa sedang melaju dalam sebuah arus kepedihan masa lalu. Sampai ia terenyak dalam tangisnya yang bisu.

Ia terpaku memperhatikan setiap bayang-bayang dalam sekepal sayap yang menyerupai langit itu. Tanpa ia sadari, isi kepalanya pun seakan melesat ke suatu peristiwa di masa lalu. Ia ingat: setiap kejadian di dalam kelepak sayap itu—peristiwa yang terjadi sekitar sepuluh tahun lalu—ketika ia masih aktif sebagai seorang pengacara.

Saat itu sebagai seorang yang bekerja di ranah hukum, pria itu tak pernah sekali pun membela hak-hak kaum tertindas. Malah ia sebaliknya. Semua energi dan daya kukuh ia sumbangkan untuk membela perkara para koruptor dan mafia hukum yang dianggapnya banyak menghasilkan untung bagi dirinya. Ia mempertahankan kebusukan demi kebusukan dengan mati-matian; membenarkan setiap kesalahan hingga menjadi lumrah. Bahkan di dalam kelepak sayap itu, ia melihat dirinya berubah menjadi seekor anjing yang menjilat-jilat kemaluan para penguasa; kemaluanya sendiri pula. Ia menjadi anjing!

Selain menjadi anjing, ia melihat sosoknya sendiri yang berubah menjadi seorang iblis yang tak henti mengintimidasi rakyat kecil tak bersalah. Tak segan, ia pun memutarbalikkan fakta; bahkan menghapus sejarah kelam kemanusiaan dari para aktivis yang telah memperjuangkan hak-hak rakyat. Tidak sampai di situ! Ia mendapati arogansi diri saat menghabisi atau menculik satu per satu orang-orang yang dianggap menghalanginya; membungkam para hakim dengan uang suap. Pria itu kembali menangis. Namun tanpa ia sadari, tak ada air mata yang mengucur dari sepasang matanya....

Halaman
123
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved