Melestarikan Batik Sambil Menumbuhkan Inovasi Saintek yang Merakyat

Ikut melestarikan batik sambil menumbuhkan inovasi saintek yang merakyat dan melestarikan batik sebagai warisan budaya tradisi asli Indonesia.

Editor: Siti Fatimah
istimewa
BATIK - Produksi batik di daerah Pekalongan, Jawa Tengah, berkolaborasi dengan peneliti batik UK Maranatha (13/9/2025) 

Iwan Santosa, S.T., M.Kom., MIPR 

Praktisi Media & Kehumasan UK Maranatha, Anggota Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas)

(dalam rangka menyambut Hari Batik Nasional 2 Oktober 2025)

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Batik ya gitu-gitu aja, kesannya kaku dan kuno. Mungkin itulah gambaran di benak sebagian besar kawula muda masa kini, yang terlahir dan hidup di era AI dan dunia algoritma. Batik memang warisan budaya yang akarnya amat panjang, sudah menjadi tradisi bahkan sebelum Indonesia lahir, sejak dari zaman Majapahit.

Wajar bila batik identik dengan tradisi jadul, di tengah kemajuan teknologi yang begitu pesat era Industri 4.0 dan Society 5.0 saat ini.

Wajar pula bila timbul kekhawatiran bahwa generasi digital native nanti akan kesulitan memahami dan mengapresiasi batik, apalagi melestarikannya.

Seiring era berganti, perlu cara-cara baru untuk mengangkat dan melestarikan batik sebagai warisan budaya tradisi asli Indonesia.

Cara-cara baru itu haruslah inovatif dan kekinian, agar sejalan dengan progres zaman.

Selain itu, juga harus relate dengan generasi masa kini. 

Misalnya, dengan memanfaatkan teknologi yang modern, sustainable, dan akrab dengan keseharian. 

Di sisi lain, lestarinya batik juga bergantung di tangan-tangan pembatik, dan tak lepas dari peran UMKM serta industri batik.

Sisi ini pun bergelut dengan berubahnya zaman. 

Ketika produk batik kalah saing dengan produk-produk lainnya, maka keberlanjutannya pun ikut terancam.

 Kendalanya ada banyak, mulai dari ketersediaan bahan baku kain, proses membatik yang panjang dan makan banyak waktu, minat pembeli yang menurun, kendala regenerasi, hingga kesulitan dalam pengembangan produk.

Masih ada banyak lagi kendala lainnya, yang semuanya itu tidak bisa diatasi sendirian tanpa kolaborasi.

Di sinilah entry point masuknya perguruan tinggi dan pemerintah, bahu-membahu dengan komunitas pembatik dan UMKM di daerah-daerah, juga dengan pihak industri hulu.

Sekitar dua-tiga tahun lalu, batik Lasem yang sebelumnya kurang populer, berhasil mencuat dan dikenal di tataran global. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memilih batik Lasem sebagai suvenir G20 (2022). 

Produknya berupa scarf yang diproduksi oleh industri batik tulis lokal di Lasem, Jawa Tengah, hasil kolaborasi dengan para peneliti Universitas Kristen (UK) Maranatha dan industri tekstil nasional penghasil kain ramah lingkungan.

Tahun berikutnya, proyek revitalisasi batik Lasem tersebut meraih penghargaan sebagai pemenang ketiga di ajang internasional Seoul Design Award 2023.

Tahun ini, yang menjadi perhatian adalah produk-produk inovasi para peneliti UK Maranatha yang memadukan batik dengan warisan karya sastra dan teknologi informasi. Inovasi unggulan tersebut antara lain adalah “Batik Turtle Graphics”, “Batik Naskah Kuno”, dan “Batik Bersuara”.

Ketiga produk inovatif hasil riset lintas disiplin ini diangkat dalam satu kesatuan tema “Revitalisasi Batik Lokal dan Naskah Kuno Karya Seni Tradisi Melalui Pemanfaatan Sains dan Teknologi yang Berkelanjutan”.

Tema ini mendapatkan perhatian dan dukungan dari Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi (Minat Saintek) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) melalui program luncuran Sinergi Kreasi Masyarakat dan Akademisi untuk Kemajuan Sainteknologi Nusantara (Semesta) Resona Saintek 2025.

Inovasi ini ingin menekankan bahwa batik sebagai budaya tradisi khas Indonesia adalah kekayaan sekaligus identitas bangsa yang perlu dilestarikan dengan cara-cara mengikuti perkembangan zaman.

Metode, teknologi, dan material baru dapat didayagunakan untuk melestarikannya.

Pertama, melalui pemanfaatan algoritma turtle graphics untuk membuat rancangan motif batik yang khas. 

Kedua, membuat inovasi motif baru memanfaatkan teori bahasa rupa yang diterapkan dalam metode alih rupa dari karya sastra.

Karya yang dimaksud adalah berupa naskah-naskah sastra kuno yang selama ini tersimpan rapat di lingkungan keraton, hingga karya-karya cerita rakyat dan legenda.

Ketiga, menggabungkan pengalaman indra penglihat, peraba, dan pendengar untuk membangkitkan imajinasi melalui pengalaman imersif batik bersuara.

Singkat kata, inovasi ini ingin menegaskan bahwa batik gak gitu-gitu aja.

Batik memang warisan budaya adiluhur, tetapi juga merupakan karya budaya yang hidup dan berkembang seiring kemajuan zaman. Batik juga bisa berevolusi memanfaatkan teknologi modern. 

Batik juga bisa berinovasi out of the box tanpa mengurangi keadiluhurannya.

Bahkan, batik juga bisa menjadi medium pelestari karya budaya tradisi lainnya. Semuanya itu bisa terjadi karena ada sains dan teknologi (saintek) di baliknya.

Namun, belum selesai sampai di situ.

Persoalannya adalah, sekreatif dan seinovatif apa pun produk inovasi yang lahir di lingkungan akademik kampus, tidaklah berguna bila tidak diketahui dan tidak bisa didayagunakan oleh masyarakat secara nyata. 

Di sinilah perlunya satu elemen lagi dalam bauran pentahelix, yakni peran kehumasan perguruan tinggi untuk menjadi science communicator, katalisator, dan central hub untuk membumikan saintek.

Humas perguruan tinggi perlu ambil bagian strategis sebagai pembudaya saintek sampai ke level rakyat, bukan semata-mata milik para akademisi saja.

Inilah yang sedang digalakkan oleh Kemdiktisaintek, yakni penguatan kehumasan perguruan tinggi sebagai motor penggerak ekosistem saintek agar bisa berdampak nyata bagi masyarakat luas.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Mengedepankan Ihsan

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved