Kemarahan Publik dan Pelajaran untuk Wakil Rakyat untuk Hidup Sederhana
Kesombongan seorang pemimpin selalu berakhir dengan kejatuhan, sementara kesederhanaan melahirkan penghormatan yang abadi.
Oleh Rachminawati *
INDONESIA hari ini sedang berduka cita. Gelombang demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini adalah puncak amarah rakyat pada wakilnya yang dianggap tidak mampu berpihak pada rakyat, tidak memiliki empati, dan gagal bekerja.
Alih-alih menyuarakan kepentingan rakyat, mereka justru selalu ada di belakang para penguasa dan cukong yang menindas dan menyengsarakan rakyat.
Affan Kurniawan adalah titik api dari bara yang tidak bisa ditahan lagi.
Ia telah menjadi simbol nyata jurang kesenjangan dan keadilan yang sangat menyesakkan dada seluruh rakyat Indonesia.
Affan adalah pejuang receh jalanan untuk menghidupi makan keluarganya yang harus meregang jiwanya dalam peristiwa demo melawan kebijakan pemberian tunjangan anggota dewan terhormat yang nominalnya puluhan hingga ratusan juta.
Mereka yang kebanyakan hidupnya bergelimang harta dan kemewahan, tetapi selalu merasa kurang layaknya orang miskin. Kasihan.
Kemarahan publik sampai pengusakan fasilitas umum, gedung-gedung DPR/ DPRD, penjarahan rumah anggota dewan dan pejabat negeri ini mestinya menjadi cermin pahit, bahwa ketika rakyat kehilangan kepercayaan, ketika rakyat sudah sangat marah, maka tembok tinggi, pagar besi, satpam bahkan polisi/ TNI tidak lagi mampu melindungi.
Ini adalah teguran keras yang mestinya menyentuh hati nurani setiap pemimpin negeri ini. Hal yang mampu melindungi hanyalah kepercayaan dan cinta rakyat, dan itu hanya bisa diraih dengan kerendahan hati dan kesederhanaan.
Kemewahan yang dipertontonkan di tengah penderitaan rakyat bukanlah kebanggaan, melainkan pengkhianatan.
Ia adalah bahasa rakyat yang sudah tak lagi menemukan saluran aspirasi. Ia adalah pesan bahwa keserakahan dan kesombongan bukan hanya mencederai etika, melainkan juga membakar legitimasi kekuasaan.
Sejarah sudah sering mengajarkan soal ini, tetapi jarang dipelajari atau sering dilupakan. Kesombongan seorang pemimpin selalu berakhir dengan kejatuhan, sementara kesederhanaan melahirkan penghormatan yang abadi.
Belajarlah dari Gandhi yang memilih hidup dengan kain tenun sederhana, berjalan kaki, dan menolak kemewahan agar tetap menyatu dengan rakyat India yang diperjuangkannya.
Ingatlah juga Nelson Mandela, yang meski mampu hidup dalam kelimpahan, tetap rendah hati dan selalu menempatkan dirinya sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa di atas rakyat.
Atau José Mujica, Presiden Uruguay yang dijuluki presiden termiskin di dunia karena menolak tinggal di istana, menyumbangkan sebagian besar gajinya, dan mengendarai mobil tua.
Belajarlah dari mereka bahwa martabat seorang pemimpin itu tidak terletak pada kemegahan rumah, kemewahan kendaraan, atau tunjangan berlimpah, melainkan pada kerendahan hati, kedekatan dan pengorbanan pada rakyatnya.
Untuk para pemimpin dan anggota dewan yang mayoritasnya beragama Islam, Islam pun menegaskan bahwa seorang pemimpin sejati adalah pemimpin yang hidup sederhana dan penuh empati.
Rasulullah SAW tidur di atas tikar kasar, menambal sendiri pakaiannya, dan menolak berlebih-lebihan, padahal beliau mampu hidup dalam kelimpahan.
Rasulullah lebih memilih hartanya digunakan untuk dakwah dan ummat.
Khalifah Umar bin Khattab hanya memiliki satu jubah yang penuh tambalan, tetapi keadilannya membuat dunia tunduk pada wibawanya.
Al-Qur’an memberikan teguran keras pada perilaku boros dan berlebih-lebihan dengan menyebutnya sebagai saudara syaitan.
Pemimpin terbaik adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya dan dicintai oleh rakyat, mereka saling mendoakan dan saling merasakan. Nilai-nilai luhur ini yang seharusnya menjadi pedoman dalam memimpin negeri baik itu di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jangan hanya sekadar retorika di panggung politik untuk meraih suara rakyat, lalu setelahnya suaranya hilang tak terdengar.
Hidup sederhana juga sebetulnya sudah diatur dalam undang-undang tentang penyelenggaraan negara yang menegaskan bahwa pejabat wajib hidup bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pejabat dilarang menerima gratifikasi dan menikmati fasilitas berlebihan yang terkait jabatannya. Kode etik anggota dewan pun mewajibkan mereka menjaga martabat lembaga dengan hidup sederhana dan berintegritas. Namun sayangnya, aturan itu sering hanya tertulis indah di atas kertas, sementara di lapangan yang tampak justru sebaliknya.
Peristiwa ini adalah pelajaran yang sangat berharga khususnya bagi generasi muda pemimpin masa depan Indonesia. Jangan pernah menaruh hormat pada pemimpin yang hidup dari keserakahan, karena keserakahan adalah musuh bagi negeri.
Hormatilah mereka yang memilih kesederhanaan, yang berani menolak privilese demi tetap berdiri bersama rakyat. Kelak, ketika anda memimpin, ingatlah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Jadilah pemimpin yang rela tidur di tikar sederhana jika rakyatnya belum sejahtera, jadilah pemimpin yang lebih bangga makan bersama rakyat kecil daripada makan Bersama kalangan elit di restoran hotel berbintang.
Bangsa ini sedang krisis pemimpin. Bangsa butuh pemimpin yang tidak berlomba-lomba mengumpulkan harta apalagi dengan korupsi.
Bangsa ini butuh pemimpin yang berlomba-lomba menebar empati. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bisa mendengar rakyatnya dan mampu memberikan dan kesejahteraan pada rakyatnya.
Kemarahan rakyat hari ini adalah pesan kuat bahwa negeri ini akan berdiri kokoh dalam persatuan jika para pemimpinnya mampu hidup sederhana.
Pesan ini, terutama bagi generasi muda, bukan sekadar nasihat, melainkan amanah agar jangan ada lagi keserakahan yang menghancurkan negeri ini.
- Penulis adalah Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum UNPAD
rachminawati@unpad.ac.id
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/Rachminawati.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.