Produksi Beras Indonesia Mencapai 34,77 Juta Ton, Pengamat Sebut Stok Menumpuk Bisa Jadi Bom Waktu

Produksi beras tahun ini mencapai 34,77 juta ton. Hal ini membuat stok beras di Bulog menumpuk dan berpotensi jadi bom waktu

Penulis: Nappisah | Editor: Kemal Setia Permana
Tribun Jabar/Nazmi Abdurrahman
GUDANG BULOG - Foto arsip stok beras di salah satu gudang Perum Bulog Kanwil Jawa Barat. Produksi beras tahun ini mencapai 34,77 juta ton. Hal ini membuat stok beras di Bulog menumpuk dan berpotensi jadi bom waktu 

"Kini stok tinggi itu masih tersisa di gudang. Per 4 November 2025, stok Bulog tercatat 3,916 juta ton: terdiri atas 3,752 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP) dan 164 ribu ton beras komersial," ujarnya. 

Dikatakannya, di satu sisi, stok besar memberi ruang pengendalian harga. Di sisi lain, data usia stok menunjukkan sinyal berbahaya.

Per 10 September 2025, sebanyak 3,134 juta ton atau 79,39 persen stok Bulog berumur lebih dari empat bulan.

"Padahal, idealnya beras hanya disimpan maksimal empat bulan. Makin lama mengendap, makin besar risiko turun mutu dan biaya penyimpanannya," imbuh Khudori

Aliran keluar pun belum sebanding dengan serapan. Penyaluran SPHP hingga 4 November baru 577.329 ton atau 38,49 persen dari target 1,5 juta ton. 

Rata-rata penyaluran akhir Oktober hanya 4.000–6.000 ton per hari. Jika laju tak berubah, hingga akhir tahun SPHP diperkirakan hanya tersalur 867.329 ton. 

Baca juga: Jabar Catat Pertumbuhan Ekonomi 5,20 Persen di Atas Nasional, Tapi Angka Pengangguran Meningkat

"Tambahan bantuan pangan Oktober–November 366 ribu ton, stok akhir tahun diproyeksikan masih 3,292 juta ton." 

Dia menuturkan, tahun 2026 di depan mata. Januari–Februari adalah musim paceklik secara pola jangka panjang. 

"Tapi tahun ini cuaca baik. BMKG memprediksi hujan normal, meski sudah ada tanda awal La Nina lemah. Artinya, peluang panen besar di Februari 2026 cukup kuat. Itu kabar baik untuk pasokan. Tapi bagi Bulog, itu bisa menjadi persoalan baru," katanya. 

Produksi yang baik memaksa Bulog menyerap gabah lagi agar harga di petani tidak jatuh. 

Jika Bulog tak masuk pasar, harga gabah terancam ambruk. Namun ketika Bulog masuk pasar dalam kondisi stok masih jumbo, persoalan bertambah: gudang harus diperluas, biaya penyimpanan membengkak, dan risiko beras menurun mutunya makin besar.

"Dengan proyeksi stok awal tahun 3,292 juta ton, Bulog akan memulai 2026 dengan stok terbesar sepanjang sejarah. Di titik ini manuver Bulog jadi serba salah. Menyerap banyak salah, tidak menyerap pun salah terutama dari sisi perlindungan harga petani," katanya. 

Khudori menambahkan, pilihan jalan keluar dinilai harus dieksekusi segera. Inpres No 6/2025 sebenarnya sudah membuka saluran penyaluran cukup luas: SPHP, bantuan pangan, tanggap darurat bencana, alokasi untuk TNI/Polri/ASN, program makan bergizi gratis, hingga opsi bansos. Bahkan opsi ekspor atau peminjaman stok ke negara lain juga terbuka.

"Waktu yang tersisa menuju akhir tahun 2025 semakin pendek. Koridor waktu yang kian sempit ini akan membatasi peluang-peluang yang bisa dipilih sebagai jalan keluar. Apapun keputusannya, semakin cepat semakin baik. Intinya, stok beras jumbo di gudang Bulog harus dikurangi," jelas Khudori

Khudori menilai, stok ideal yang aman ada di sekitar 1,5 juta ton hingga maksimal 2 juta ton. 

Ia menegaskan bahwa Bulog perlu menyiapkan skenario terburuk sambil berharap kondisi tidak berubah jadi bencana pasokan. 

Prinsipnya, lanjut dia, jika sewaktu-waktu tekanan stok besar itu meledak menjadi masalah, antisipasi sudah harus siap sebelumnya. (*)

 

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved