Jokowi Ungkap Alibi Pembangunan Kereta Cepat Whoosh, Purbaya Ogah Ikut Restrukturisasi Utangnya

Akhirnya Presiden ke-7 RI Jokowi buka suara soal utang proyek yang digarap di era pemerintahannya. Di sisi lain Menteri Keuangan berkomentar

Editor: Hilda Rubiah
Dok Biro Pers Sekretariat Presiden/TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin
POLEMIK KERETA CEPAT: Presiden ke-7 RI Jokowi di Solo pada Senin (28/10/2025). Dia menyebut persoalan transportasi bukan untuk mencari laba. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, memastikan tidak terlibat dalam tim restrukturisasi utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh.  

TRIBUNJABAR.ID - Polemik utang jumbo pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh masih menjadi perbincangan publik.

Kini, polemik tersebut kian memanas setelah Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi akhirnya buka suara soal utang proyek yang digarap di era pemerintahannya tersebut.

Pembangunan kereta cepat Whoosh tersebut menyeret nama Jokowi lantaran disebut-sebut sebagai proyek yang berasal dari ambisinya.

Presiden ke-7 itu disalahkan karena proyek tersebut kini menjadi polemik setelah disebut terlilit utang triliunan rupiah.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa enggan terlibat untuk membantu pembayaran utang jumbo kereta cepat tersebut.

Baca juga: Utang Kereta Cepat Whoosh Buah Proyek Ambisi Jokowi Dikuliti Mahfud MD & Rocky Gerung, Duga Mark Up

Bahkan sejumlah tokoh ikut berkomentar mengenai kepemimpinan Presiden ke-7 RI Jokowi yang menginisiasi proyek kereta cepat tersebut.

Menanggapi polemik tersebut, di Solo, Jokowi akhirnya buka suara.

Ia tegas menyatakan bahwa proyek tersebut tidak semata-mata bertujuan mencari laba, melainkan untuk mengatasi masalah kemacetan di ibu kota.

“Prinsip dasar transportasi massal atau transportasi umum adalah layanan publik, bukan mencari laba,” kata Jokowi dikutip dari TribunSolo pada Senin (27/10/2025).

Meski dinilai merugi, Jokowi mengatakan keuntungan sosial dari keberadaan kereta cepat sudah dirasakan masyarakat mulai dari meningkatnya produktivitas hingga waktu tempuh yang lebih singkat.

“Transportasi massal atau transportasi umum tidak diukur dari laba, tapi dari keuntungan sosial, social return of investment. Pengurangan emisi karbon, peningkatan produktivitas masyarakat, polusi yang berkurang, waktu tempuh yang lebih cepat di situlah keuntungan sosial dari pembangunan transportasi massal. Kalau ada subsidi, itu investasi, bukan kerugian,” terangnya.

Selama puluhan tahun, DKI Jakarta dan sekitarnya menghadapi masalah kemacetan yang sangat kompleks.

“Kita harus tahu dulu masalahnya. Di Jakarta, kemacetan sudah parah, bahkan sejak 30–40 tahun lalu. Jabodetabek dan Bandung juga menghadapi kemacetan yang sangat parah,” jelasnya.

Menurut Jokowi, kemacetan tersebut jika dihitung secara finansial menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun.

“Dari kemacetan itu, negara rugi secara hitung-hitungan. Di Jakarta saja kira-kira Rp65 triliun per tahun. Kalau Jabodetabek plus Bandung, kira-kira di atas Rp100 triliun per tahun,” tuturnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved