Breaking News

Surplus Beras 2025 Tertinggi Sejak 2019, tapi Harga Belum Turun, Stok di Pasar Belum Melimpah?

BPS memperkirakan produksi beras Januari–Desember 2025 mencapai 34,77 juta ton atau meningkat 13,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya. 

Penulis: Nappisah | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Jabar/ Adi Ramadhan
ILUSTRASI BERAS - Beras di Pasar Sehat Margahayu, Kabupaten Bandung, Selasa (19/8/2025). Surplus beras nasional tahun 2025 diperkirakan mencapai 3,87 juta ton. Namun kelebihan pasokan ini belum sepenuhnya berdampak pada stabilitas harga di tingkat konsumen. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Surplus beras nasional tahun 2025 diperkirakan mencapai 3,87 juta ton. Namun kelebihan pasokan ini belum sepenuhnya berdampak pada stabilitas harga di tingkat konsumen.

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras Januari–Desember 2025 mencapai 34,77 juta ton atau meningkat 13,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya. 

Khudori, Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) menyebut tiga faktor utama pendorong lonjakan produksi. 

Pertama, low base effect, karena produksi tahun 2024 merupakan yang terendah sejak 2018 sehingga kenaikan persentasenya tampak signifikan. 

Kedua, kebijakan penambahan pupuk bersubsidi menjadi 9,55 juta ton dengan mekanisme lebih sederhana. 

Baca juga: Pelabuhan Subang Jadi Pintu Masuk Impor Beras Ilegal Thailand, Mentan Minta Diusut Tuntas

Ketiga, faktor iklim berupa curah hujan tinggi sepanjang tahun yang memungkinkan sawah tadah hujan ikut tergarap.

“Wilayah yang biasanya tak bisa diusahakan, misal sawah tadah hujan, bisa ditanami,” ujarnya, Minggu (23/11/2025). 

Namun, menurut Khudori, lonjakan produksi ini lebih banyak disumbang oleh perluasan luas panen ketimbang peningkatan produktivitas.

Luas panen naik dari 10,05 juta hektare pada 2024 menjadi 11,36 juta hektare pada 2025 atau meningkat 12,98 persen.

Sementara itu, produktivitas hanya naik tipis menjadi 5,31 ton gabah kering giling (GKG) per hektare, dari sebelumnya 5,28 ton. Kenaikannya hanya sekitar 0,45 persen.

“Inilah PR yang relatif belum tersentuh sampai saat ini. Meningkatkan produktivitas perlu lompatan adopsi teknologi dan penciptaan inovasi. Tanpa keduanya produktivitas sulit digenjot,” imbuh Khudori.

Ia juga membandingkan produktivitas Indonesia dengan negara lain di Asia.

 Pada 2022, kata dia, produktivitas padi Indonesia masih berada di bawah China dan Vietnam. 

Selisih produktivitas dengan China mencapai 1,84 ton per hektare dan dengan Vietnam 0,78 ton per hektare.

Baca juga: Sosok Misterius Kembali Datang ke Kalipucang Pangandaran, Bagikan Beras dan Uang untuk Korban Banjir

Selain itu, Khudori menyoroti persoalan serius terkait rendemen beras akibat kebijakan penyerapan gabah semua kualitas oleh BULOG. 

Rendemen gabah yang diserap BULOG hanya mencapai 50,8 persen, lebih rendah dibandingkan asumsi BPS sebesar 53,38 persen.

“Kalau rendemen gabah ketika diolah jadi beras sebesar 50,8 persen ini terjadi secara nasional, angka 2,58 persen itu setara 897 ribu ton beras. Ini harus menjadi faktor pengurang produksi 34,77 juta ton,” jelasnya.

Artinya, angka produksi beras yang dirilis bisa lebih rendah jika dikoreksi dengan rendemen aktual di lapangan.

Persoalan berikutnya adalah kualitas beras hasil penggilingan. Khudori mencatat terdapat 30,5 ribu ton beras hasil giling Bulog yang tidak memenuhi standar, dengan ciri berwarna kuning hingga kuning kecoklatan, terutama di wilayah Kanwil Bulog Sulselbar.

Rapat koordinasi terbatas Kemenko Pangan pada 1 September 2025 telah menyetujui penjualan sebanyak 21,3 ribu ton beras non-standar tersebut seharga Rp11.500 per kilogram. 

Khudori menuturkan, hingga kini belum diketahui apakah beras itu sudah terjual seluruhnya atau belum.

"Kondisi pasar belum sepenuhnya mencerminkan kelimpahan stok. Hingga 23 November 2025, harga beras premium masih berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) di seluruh zona, begitu juga harga beras medium," jelasnya. 

Khudori menilai penurunan harga beras medium yang mulai terjadi belakangan ini bukan semata karena mekanisme pasar atau intervensi stok, melainkan dampak kehadiran Satgas Pengendalian Harga Beras yang dibentuk pada 20 Oktober 2025 melalui Keputusan Kepala Bapanas Nomor 375 Tahun 2025.

“Satgas Pengendalian Harga Beras pada dasarnya adalah bentuk ketidakpercayaan pemerintah kepada pasar dan pelaku usaha,” ujar Khudori.

Satgas ini melibatkan kepolisian dalam pengawasan stok, distribusi, dan harga beras, mulai dari produsen hingga retail modern. 

Baca juga: Rekor Tertinggi, Bulog Subang Serap 70 Ribu Ton Beras, Naik Tiga Kali Lipat Dibanding Tahun Lalu

Menurut Khudori, pendekatan berbasis keamanan ini justru menimbulkan ketidakpastian usaha dan berisiko menciptakan sinyal palsu di pasar.

“Kalau sinyal palsu ini dijadikan dasar membuat kebijakan, kebijakan bisa salah,” katanya. (*) 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved