Pakar Unpad dan Hipmi Soroti Lonjakan Kejahatan Online: Negara Harus Hadir Beri Perlindungan

Meningkatnya berbagai bentuk kejahatan digital mendorong peran negara dalam memberikan perlindungan yang komprehensif.

Tribunjabar.id / Muhamad Nandri Prilatama
Akademisi Universitas Padjadjaran, Achmad Abdul Basith memberikan penilaian terhadap meningkatnya berbagai bentuk kejahatan digital, sehingga pentingnya peran negara dalam memberikan perlindungan yang komprehensif. Katanya, angka kekerasan digital naik, penipuan naik, hoax dan misinformasi pun semakin naik. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Akademisi Universitas Padjadjaran, Achmad Abdul Basith memberikan penilaian terhadap meningkatnya berbagai bentuk kejahatan digital, sehingga pentingnya peran negara dalam memberikan perlindungan yang komprehensif.

Katanya, angka kekerasan digital naik, penipuan naik, hoax dan misinformasi pun semakin naik. 

"Negara harus hadir memberikan perlindungan," katanya dalam Forum Dialog Digital Aman 2025 bertemakan generasi digital: membangun kerangka hukum untuk ruang digital yang aman, di Filosofi Kopi Braga, Kota Bandung, kemarin.

Dia juga menyoroti regulasi yang ada saat ini, masih bergantung pada UU ITE yang pendekatannya lebih bersifat pidana dan delik aduan, sehingga belum cukup untuk menjawab kompleksitas ancaman digital modern.

"Kebutuhan utama bukan sekadar UU baru, tapi efektivitas implemenfasi regulasi. Terpenting, dunia digital kita harus segera diregulasi. Regulasi bukan untuk mengekang kebebasan, tapi memberikan perlindungan," katanya 

Selain UU ITE, Indonesia juga memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) serta sejumlah aturan turunan. Namun, implementasinya dinilai masih minim akibat lemahnya perangkat pelaksana dan koordinasi antar lembaga.

Data Kejahatan Digital yang Mengkhawatirkan

Dalam paparan Basith, menampilkan sejumlah data yang menunjukkan tingginya eskalasi konten bermasalah di ruang digital, seperti 1,3 juta konten negatif beredar sepanjang 2024–2025, 200 ribu lebih konten pornografi, 5 juta konten perjudian online sejak 2017, 5 juta konten pornografi anak, angka yang disebutnya “sangat memprihatinkan”, kelompok rentan, terutama perempuan dan anak, menjadi korban terbesar, dan 48 persen korban penipuan digital adalah perempuan, terutama ibu rumah tangga.

“Kita seperti sedang berperang secara halus. Sasarannya bukan wilayah, tetapi kognisi anak bangsa,” ujarnya.

Basith menilai literasi digital memang penting, tetapi negara tidak dapat membebankan seluruh tanggung jawab kepada masyarakat.

Menurutnya, perlindungan sistemik yang kuat hanya dapat tercapai melalui regulasi yang jelas dan implementatif. Dia mencontohkan mekanisme aduan digital ke Kementerian Kominfo yang dinilai belum efektif karena lembaga tersebut memikul tugas regulasi yang sangat luas.

“Untuk mengurus persoalan digital ini perlu lembaga yang fokus. Kominfo itu mengurus radio, TV, provider, semuanya. Tidak akan maksimal,” katanya.

Ikrardi Putera dari HIPMI menegaskan pentingnya regulasi baru yang mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan digital dan perlindungan keamanan masyarakat. Dia menyebut, tingkat kebebasan digital semakin tinggi, tapi penyalahgunaan seperti cybercrime juga semakin berbahaya. 

"Kebocoran data pribadi menjadi akar dari melonjaknya kasus penipuan online. Banyak korban menerima telepon atau instruksi dari pihak yang mengaku resmi, padahal merupakan pelaku kejahatan. Pemerintah harus melindungi data pribadi warganya. Ini yang belum terasa signifikan,” ujarnya.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved