Mengintip Permainan “Rumah Minim Sampah” dari Komunitas Kota Tanpa Sampah di Bandung

Kartu itu bagian dari permainan “Rumah Minim Sampah” dikembangkan komunitas Kota Tanpa Sampah sejak akhir 2023. 

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
tribunjabar.id / Nappisah
Permainan kartu "Rumah Minim Sampah” dikembangkan komunitas Kota Tanpa Sampah saat dimainkan di Toko Nol Sampah. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Suasana edukasi lingkungan yang biasanya penuh data dan fakta formal mulai dicairkan dengan pendekatan yang sengaja dibuat santai. 

Di Toko Nol Sampah, Jalan Raden Patah, Kota Bandung, obrolan antara fasilitator dan pengunjung tidak dimulai dengan paparan serius, tetapi lewat permainan kartu

Orang-orang duduk di bangku, membuka kartu penuh ilustrasi warna-warni. Bukan kartu remi atau uno seperti biasanya, tapi kartu dengan gambar konsumsi harian mulai dari botol minum, pakaian, hingga peralatan mandi. 

Kartu itu bagian dari permainan “Rumah Minim Sampah” dikembangkan komunitas Kota Tanpa Sampah sejak akhir 2023. 

Penggagasnya, Wilma Chrysanti, membawa pendekatan bahwa belajar soal sampah bukan lewat ceramah, bukan lewat presentasi yang membuat orang menguap, tapi lewat permainan.

Usianya pun tak dibatasi. Kartu ini pernah dicoba dari anak usia preschool yang belum bisa baca, sampai orang dewasa usia 60 tahun. 

Dari pengalaman itu, Wilma melihat hal menarik: anak kecil yang belum mengenal huruf pun bisa menangkap esensi rasa.

"Contohnya saat melihat ilustrasi orang buang sampah sembarangan. Anak-anak langsung menyebut perilaku itu tidak baik," ujarnya, saat berbicang dengan Tribunjabar.id, Sabtu (8/11/2025). 

Artinya, kata dia, melalui permainan ada kontak emosi bukan sekadar hafalan.

Kartu ini sudah dicoba di lebih dari 18 kota/kabupaten dan banyak organisasi. Tak hanya lembaga lingkungan bahkan bisa dibawa ke kafe, dipakai sambil menunggu teman nongkrong, atau sekadar dimainkan di rumah.

Dengan begitu, topik “sampah” yang sering membuat orang lelah atau malas ikut acara, jadi masuk melalui jalur yang lebih santai.

Model ini bahkan diuji dalam modul 5 hari di dua sekolah Adiwiyata di Jakarta. Anak-anak bermain dulu, lalu keesokan hari melakukan refleksi. Di akhir sesi, mereka membuat komitmen tindakan nyata.

"Ada siswa yang biasanya makan take away, hari itu memutuskan makan di tempat karena ingin mengurangi sampah kemasan. Ada anak yang memilih memberikan baju layak pakai kepada temannya, bukan dibuang," kata dia. 

Bagi Wilma, di situlah terlihat bahwa kartu ini tidak hanya bicara sampah tapi merambat ke solidaritas sosial.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved