Skema Cicilan Pajak Dorong Kepatuhan Wajib Pajak? Pengamat Ungkap Hal-hal yang Harus Diperhatikan

Dengan sistem digital yang praktis dan fleksibel, masyarakat bisa mengatur sendiri ritme pembayaran tanpa harus antre atau khawatir terlambat.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Tribun Jabar/Ahmad Imam Baehaqi
TERIMA STNK - Seorang warga saat menerima STNK yang masa berlakunya telah diperpanjang di Samsat Soekarno Hatta, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Sabtu (27/6/2025). Beberapa warga belum tahu kalau masa pemutihan pajak diperpanjang hingga September 2025. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Warga Jawa Barat kini punya cara baru yang lebih ringan untuk menunaikan kewajiban pajak.

Terbaru, pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB) roda dua maupun roda empat dan SWDKLLJ dengan skema cicilan melalui aplikasi T-Samsat.

Dengan sistem digital yang praktis dan fleksibel, masyarakat bisa mengatur sendiri ritme pembayaran tanpa harus antre atau khawatir terlambat.

Menurut  praktisi keuangan sekaligus pengamat ekonomi dan dosen Universitas Islam Nusantara (Uninus), Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy, skema cicilan melalui aplikasi kerjasama dengan Bank BJB memang inovatif. 

Rizaldy mengatakan, skema ini meringankan beban wajib pajak, karena pembayaran bisa dicicil sesuai kemampuan finansial dan ada fleksibilitas dalam memilih tanggal cicilan.   

“Bagi pemilik kendaraan yang terasa berat bayar sekaligus besar, ini solusi,” ujarnya, kepada TribunJabar.id, Minggu (26/10/2025).

Selain itu, kata dia, skema ini, meningkatkan kepatuhan dan mengurangi tunggakan.

Praktisi Keuangan sekaligus Pengamat Ekonomi dari Uninus, Dr Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy.
Praktisi Keuangan sekaligus Pengamat Ekonomi dari Uninus, Dr Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy. (dokumen pribadi)

“Skema cicilan + autodebet otomatis dipercaya sebagai mekanisme untuk meningkatkan on-time payment dan menurunkan jumlah tunggakan.  Karena bila orang merasa lebih terjangkau, kemungkinan untuk bayar tepat waktu lebih besar,” jelasnya.

Rizaldy menuturkan, terobosan ini mendorong digitalisasi layanan publik. Penggunaan aplikasi T-Samsat + integrasi Bank BJB meningkatkan kemudahan akses online, tanpa harus datang ke samsat fisik. Sehingga memperkuat efisiensi administratif. 

Skema cicilan ini diyakini Rizaldy mampu mendorong pendapatan daerah lebih stabil.

“Dengan pembayaran yang lebih mudah dan tepat waktu, potensi penerimaan pajak (PAD dari PKB) bisa meningkat, membantu perencanaan fiskal daerah,” imbuhnya.

Kendati demikian, Rizaldy meminta faktor risiko tetap harus diperhatikan.

Pertama, risiko moral hazard / beban administratif tersembunyi.

“Bila skema cicilan terlalu longgar atau tidak diikuti pengawasan, bisa ada risiko wajib pajak prokrastinasi atau memilih cicilan panjang tapi akhirnya menunggak. Jika autodebet gagal atau pemilik rekening berganti, pengumpulan bisa jadi sulit,” paparnya.

Kedua, pengaruh terhadap arus kas pemerintah daerah. Walaupun pencicilan membantu wajib pajak, artinya penerimaan besar yang sebelumnya datang sekaligus sekali bayar tahunan bisa menjadi tersebar.

“Jika tidak dikelola dengan baik, bisa berdampak pada likuiditas daerah  misalnya pembiayaan pengeluaran jangka pendek. Misalnya jika sebelumnya PAD masuk Rp X dalam satu waktu, sekarang masuk bertahap,” tuturnya.

Ketiga, kondisi teknis dan pemanfaatan belum merata di Jawa Barat.

Rizaldy menyebut persyaratannya ialah nasabah dari Bank BJB.

“Bagi warga yang belum memiliki atau memilih bank lain bisa terpaut. Ini bisa menciptakan ketidaksetaraan dalam akses,” kata dia.

Rizaldy mengatakan meskipun disebut tidak ada biaya tambahan atau denda dalam awal peluncuran.  Namun tetap perlu waspada bahwa dalam jangka panjang mungkin muncul biaya layanan atau penalti cicilan.

“Juga memerlukan regulasi yang jelas agar tidak menjadi beban baru,” tambahnya.

Keempat, dia menyoroti karena menggunakan aplikasi dan autodebet, maka risiko sistem down, data bocor, atau kesalahan transaksi muncul. Jika terjadi masalah teknis, bisa mengganggu wajib pajak dan pemerintah.

Hadirnya terobosan ini, lanjut dia, kemungkinan persepsi pasti bermunculan.

“Misalnya ketidakadilan bagi  yang sebelumnya sudah membayar penuh, bisa muncul rasa ‘kenapa saya harus bayar sekaligus sementara orang lain bisa cicil?”. Ini soal persepsi keadilan pajak,” ucapnya.

Untuk itu, kata Rizaldy, sejumlah langkah strategis perlu diperhatikan, mulai dari pemantauan indikator kunci seperti jumlah wajib pajak yang memilih cicilan, tingkat kepatuhan, rasio tunggakan, hingga dampaknya terhadap arus kas PAD.

“Selain itu, edukasi dan sosialisasi menjadi kunci agar masyarakat memahami mekanisme cicilan, risiko gagal autodebet, serta konsekuensi jika mengganti rekening,” katanya.

Di sisi lain, kesiapan layanan teknis seperti aplikasi dan sistem pembayaran juga harus dipastikan aman dan mudah digunakan, terutama bagi masyarakat yang belum terbiasa dengan teknologi digital.

Bapenda juga didorong untuk membuat konten edukatif yang menjelaskan skema ini secara praktis.

“Seperti cara menghitung cicilan atau hal-hal yang perlu diperiksa sebelum mendaftar. Tak kalah penting, evaluasi jangka panjang perlu dilakukan untuk menilai apakah skema ini benar-benar meningkatkan kepatuhan atau justru menimbulkan tantangan fiskal akibat penurunan penerimaan dalam satu waktu,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved