Anemia Intai Remaja Bandung, Dinkes Sebut Kebiasaan Makan Aci Sebabkan Kekurangan Gizi Mikro

Dokter Dewi menceritakan pengalaman timnya saat melakukan kunjungan rumah. 

Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Ravianto
Tribun Jabar/Putri Puspita
JAJANAN BASO ACI - Proses pembuatan baso aci. dr. Dewi mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi triple burden malnutrition, yaitu kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan gizi mikro. 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG – Dinas Kesehatan Kota Bandung menyoroti masih rendahnya kebiasaan makan sehat di masyarakat. 

Pelaksana Tugas Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Kota Bandung, dr. Dewi Prima, menyebut banyak warga yang masih mengandalkan makanan berbahan dasar aci sebagai sumber utama energi sehari-hari, tanpa memperhatikan kecukupan protein, vitamin, dan mineral.

Dokter Dewi menceritakan pengalaman timnya saat melakukan kunjungan rumah. 

Ketika ditanya makanan sehari-hari, sebagian besar warga menjawab cimol, cilok, cireng, hingga jajanan aci lainnya.

"Aci itu godaan, saya sendiri suka. Itu bukan hal yang salah karena ini produk lokal kita juga."

"Tapi masyarakat sering merasa seporsi cilok sudah cukup. Mereka tidak peduli nilai gizinya,” kata dokter Dewi di acara Innovibes, di Innovation Park, Kamis (20/11/2025).

Baca juga: Bisnis Aci Rumahan dari Cimahi Ini Tembus Omzet Puluhan Juta per Bulan

Ia menjelaskan bahwa aci memang bisa menjadi sumber karbohidrat, yakni 30–35 persen dari kebutuhan harian. 

ACI Harus Diimbangi Asupan Protein

Namun, konsumsi itu harus diimbangi dengan protein hewani atau nabati, serta asupan sayur, serat, dan mineral.

“Tubuh kita butuh protein untuk otot, metabolisme, termasuk pembakaran lemak. Pedasnya cilok bisa memberi vitamin C, tapi proteinnya mana? Sayurnya mana?” ujarnya.

dr. Dewi mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi triple burden malnutrition, yaitu kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan gizi mikro.

Balita stunting masih ditemukan, sementara angka obesitas juga terus meningkat.

Anemia

Masalah gizi mikro yang paling menjadi perhatian adalah anemia, terutama pada remaja dan ibu hamil.

“Hampir sepertiga remaja kita mengalami anemia. Ibu hamil juga banyak yang anemia."

"Merasa sehat, padahal saat diperiksa hemoglobinnya cuma 11. Kurang darah menyebabkan suplai oksigen ke otak dan seluruh tubuh tidak optimal,” tuturnya.

Ia menegaskan, anemia bukan hanya membuat tubuh cepat lelah, tetapi berdampak jangka panjang pada fungsi organ, daya konsentrasi, hingga risiko komplikasi pada kehamilan.

“Sekarang mungkin belum terasa karena masih usia 20-an. Tapi di usia 30–40, dampaknya mulai banyak muncul,” tambahnya.

dr. Dewi mengatakan bahwa Pemerintah Kota Bandung sebenarnya telah memiliki kebijakan jelas mengenai pola hidup sehat. 

Salah satunya melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang tertuang dalam Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 6 Tahun 2025.

Germas mencakup kebiasaan makan sehat, aktivitas fisik, hingga menghindari rokok. Meski regulasi sudah kuat, tantangan terbesar tetap pada perubahan perilaku masyarakat.

“Kita bisa awasi fasilitasnya. Tapi mengawasi perilaku itu yang paling sulit,” katanya.

Menurut dr. Dewi, perubahan perilaku membutuhkan upaya yang lebih humanis dan kreatif. 

Ia berharap ada inovasi dari akademisi dan peneliti untuk mendorong masyarakat beralih menuju gaya hidup sehat atas kesadaran sendiri.

“Kita perlu gebrakan baru bagaimana membuat orang mudah berubah tanpa dipaksa. Saat pandemi orang dipaksa berubah, sekarang tantangannya berbeda,” ucapnya.(*)

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved