Peneliti ITB Soroti Minimnya Bahan Lokal dalam Produk Pangan di Indonesia

Ketergantungan pada pangan impor atau produk olahan yang diproses di luar negeri harus mulai dikurangi dengan inovasi dari bahan lokal.

TRIBUNJABAR.ID/MUHAMAD SYARIF ABDUSSALAM
ILUSTRASI - Penyajian menu pangan lokal yang menjadi bagian acara FGD Gerakan Budaya Gastronomi Jawa Barat di Teras Gloya, Kota Bandung, Selasa (6/12/2022). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG – Indonesia memiliki kekayaan hayati luar biasa, namun pemanfaatannya dalam produk pangan sehari-hari masih sangat rendah. 

Hal ini diungkapkan oleh para peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menilai komponen bahan lokal pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia cenderung kecil, meski tanah air memiliki potensi komoditas yang sangat besar.

Dosen Fakultas Teknologi Industri (FTI) ITB, Prof. Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati, menyebut persoalan ini menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti di bidang pangan. 

Ia menilai ketergantungan pada pangan impor atau produk olahan yang diproses di luar negeri harus mulai dikurangi dengan inovasi dari bahan lokal.

“Coba lihat apa yang kita makan dari pagi sampai malam. Berapa banyak komponen lokalnya? Walaupun Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, yang sampai ke meja makan kita justru sedikit yang berbahan lokal. Kami selalu tertantang untuk meningkatkan pengolahan bahan lokal menjadi produk pangan,” ucap Peni di Innovation Park, Kamis (20/11/2025).

Peni mengatakan, pengolahan bahan lokal tidak bisa hanya mengejar produk jadi semata. 

Tantangan lain muncul dalam hal kualitas, kesehatan, hingga keamanan pangan. Bahkan penyimpanan bahan dasar saja berpotensi menurunkan nilai gizi atau menyebabkan food loss.

“Tantangannya bagaimana mempertahankan nilai gizi, menjaga aspek kesehatan, memastikan tidak terkontaminasi, dan tetap halal. Apa yang akhirnya tersaji ke masyarakat harus sehat dan nutrisinya tepat,”tuturnya.

Senada dengan itu, Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, dr. Kamarisma, menyoroti pentingnya inovasi pangan lokal yang bisa diterima pasar. 

Menurutnya, keberhasilan sebuah produk tidak hanya bergantung pada kualitas bahan baku, tetapi juga pada kemauan konsumen untuk membelinya.

“Dalam rantai pasok, ujungnya selalu end consumer. Sebagus apa pun proses di hulu, kalau di ujung tidak ada yang mau beli, tidak akan jalan,” kata dia.

Ia menyebut, saat ini preferensi masyarakat masih menempatkan harga murah dan rasa enak sebagai prioritas utama, sementara nilai gizi kerap menjadi urutan terakhir. 

Untuk itu, para ilmuwan perlu mendorong edukasi agar masyarakat dapat menempatkan gizi sebagai pertimbangan pertama.

“Sekarang urutannya murah dulu, enak, baru bergizi. Kami ingin membaliknya, bergizi dulu, enak, baru murah,” katanya.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved