Coffee Break

Coffee Break Tribun Jabar Minggu Ini: Aing Persib, Aing Persija

Penulis: Hermawan Aksan
Editor: Hermawan Aksan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hermawan Aksan, Wartawan Tribun Jabar

Oleh Hermawan Aksan

DI tembok yang mengelilingi sebuah lahan terbuka di dekat kampung saya di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, ada tulisan dengan huruf besar mencolok.

Di tembok kiri pintu masuk tertulis “Aing Persib” dengan ilustrasi pemain sepak bola berseragam biru Maung Bandung.

Di sebelah kanan, tertulis “Aing Persija” dengan ilustrasi pemain sepak bola berseragam oranye Persija.

Baca juga: Coffee Break Tribun Jabar Minggu Ini: Serigala Penyendiri Bernama Zakiah Aini

Baca juga: Coffee Break Tribun Jabar Minggu Ini: Lawan Terus Rasialisme

Apakah itu menunjukkan permusuhan?

Mungkin ada persaingan, tetapi saya justru melihat semacam keakraban.

Sesama “aing”, tapi kedua tulisan dan gambar itu tidak memperlihatkan perseteruan.

Di wilayah Kabupaten Brebes selatan-barat memang terdapat tiga kecamatan yang penduduknya berbahasa Sunda.

Meskipun bahasa Sundanya berbeda dengan bahasa Sunda Priangan, mereka merasa diri sebagai orang Sunda, akrab dengan budaya Sunda macam wayang golek, calung, dan jaipongan.

Ilustrasi Viking-The Jakmania _ Persib vs Persija (YouTube)

Karena itu, wajar jika masyarakat di sana banyak yang menjadi penggemar Persib Bandung sejak lama.

Mereka sudah akrab dengan nama-nama pemain seperti Ajat Sudrajat, Robby Darwis, dan Djadjang Nurdjaman.

Akan halnya penggemar Persija, saya menduga mereka muncul belakangan.

Saya pun menduga tulisan itu dibuat oleh (para) perantau yang mencari nafkah di Jakarta atau daerah sekitar seperti Bekasi dan Tangerang.

Di daerah sekitar DKI itu saya sering melihat tulisan yang menunjukkan dukungan kepada tim Macan Kemayoran.

Baca juga: Wakil Wali Kota Bandung Minta Mills Sponsori Persib Bandung

Baca juga: Persib Bandung Akan Tetap Terapkan Rotasi Pemain Lawan Persebaya, Kali Ini Ferdinand Sinaga Starter?

Jadi, ketika masih terjadi persaingan sengit yang menjurus permusuhan antara Persib dan Persija di daerah asalnya, tulisan di tembok itu justru menunjukkan persaingan tapi juga pertemanan.

Apakah tidak ada persaingan di antara penduduk wilayah itu?

Tentu saja ada.

Rasanya, persaingan antardaerah merupakan hal yang “universal”.

Pendukung AC Milan dan Inter Milan adalah contoh persaingan warga sekota yang mendukung dua klub yang berbeda.

Striker Persib Bandung, Wander Luiz. (IG Persib)

Banyak contoh lainnya: pendukung Manchester City dan Manchester United, suporter Liverpool dan Everton, fan Real Madrid dan Atletico Madrid, dan banyak lagi.

Perseteruan antarpendukung tim kampung bahkan sangat terasa meneror pemain.

Saya pernah mengalami suasana macam itu tatkala masih bermain bola di kampung dalam turnamen antardesa sekecamatan.

Karena lapangannya terbuka, penonton terdepan berdiri tepat di garis batas lapangan, bahkan kadang melewati garis dalam keadaan tertentu, misalnya ada orang yang ingin melihat bola dengan cara melongokkan kepala dan orang lain mengikutinya.

Saya, yang berposisi sebagai penjaga gawang, adalah pemain yang paling dekat dengan penonton.

Bobotoh mendukung Persib Bandung saat lawan Sriwijaya FC. (Tribun Jabar/Deni Denaswara)

Sebab, gawang pun kadang tidak berjaring sehingga penonton bebas berdiri tepat di bawah mistar gawang.

Masih mendingan kalau penonton itu adalah pendukung tim kami.

Kalau mereka adalah pendukung tim lawan, sudah pasti mereka terus-menerus meneror saya.

Tidak hanya dengan kata-kata seruan dan makian, tapi juga dengan sikap dan gerakan yang mengintimidasi, misalnya kepalan tangan tangan dan acungan golok!

Benarkah itu golok? Tentu saja.

Bagaimana mungkin orang membawa golok bisa menonton sepak bola? Bisa saja.

Banyak dari penonton itu adalah petani dan mereka pergi ke lapangan langsung dari kebun atau sawah mereka.

Saya bersyukur karena tidak pernah mengalami kejadian yang tak diinginkan.

Acungan golok dan kepalan tangan mereka lebih banyak hanya cara mereka untuk meruntuhkan mental tim lawan.

Mereka pun pasti berpikir panjang jika melakukan keributan dan dalam keributan itu mereka menggunakan senjata tajam.

Apakah tidak pernah ada perkelahian antarpenonton? Ada juga.

Bahkan beberapa tahun lalu pernah terjadi pekelahian yang menyebabkan turnamen sepak bola antardesa sekecamatan dicoret dari acara tetap Agustusan.

Itu terjadi setelah saya pensiun dari sepak bola antarkampung.

Baiklah, tulisan ini sekadar kenangan saya akan masa ketika masih menjadi pemain sepak bola kampung, tatkala kami senang mengidentifikasikan diri sebagai tim “Persib” karena kami menyukai cara bermain yang sama dengan tim Persib—meski tentu dengan level yang jauh berbeda.

Sebagai “pensiunan” pemain, saya membayangkan alangkah indahnya jika semua tim bersahabat dan pendukungnya bisa menonton dengan damai.

Mungkin kelak setelah pandemi berlalu. (*)

Berita Terkini