Manajemen Pertahanan Global: Belajar dari Devil’s Interval

Dunia tidak sedang menuju harmoni; dunia sedang bermain dalam skala disonan. Tugas kita bukan menolak perubahan, tetapi mengelolanya. 

dokumen pribadi
Kolonel Tek. Dr. Ir. Hikmat Zakky Almubaroq, S.Pd., M.Si. (Kepala Program Studi S2 Manajemen Pertahanan, Universitas Pertahanan Republik Indonesia) 

Oleh: Kolonel Tek. Dr. Ir. Hikmat Zakky Almubaroq, S.Pd., M.Si.

(Kepala Program Studi S2 Manajemen Pertahanan, Universitas Pertahanan Republik Indonesia)

TRIBUNJABAR.ID - Di dalam dunia musik klasik, terdapat sebuah interval nada yang sejak abad pertengahan dianggap “berbahaya” dan bahkan “iblis” dalam struktur harmoni: tritone, atau yang dikenal sebagai Devil’s Interval. 

Interval ini menciptakan rasa tidak nyaman, tegang, dan tidak stabil dalam pendengaran manusia. Namun ironisnya, disonansi inilah yang kemudian melahirkan revolusi dalam musik modern, dari jazz hingga metal.

Dari sesuatu yang dulunya ditakuti, kini tritone menjadi bagian penting dalam membentuk nuansa ekspresif yang lebih kompleks dan bermakna.

Pertanyaannya: apakah kita bisa belajar dari Devil’s Interval untuk memahami dinamika pertahanan dan geopolitik global hari ini?

Ketegangan sebagai Keniscayaan

Dalam dunia pertahanan, kita sering terjebak dalam paradigma status quo, seolah dunia akan tetap harmonis selama kita menjaga aliansi dan menjaga keseimbangan militer.

Namun realitasnya, dunia saat ini lebih menyerupai komposisi musik dengan tritone di dalamnya, penuh disonansi, ketegangan, dan potensi perubahan mendadak.

Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), belanja militer global pada tahun 2024 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah: $2,4 triliun, dengan pertumbuhan terbesar justru datang dari negara-negara berkembang. Ini menunjukkan dunia sedang berada dalam keadaan siaga tinggi.

Konflik Rusia-Ukraina, meningkatnya agresi Laut China Selatan, ketegangan AI dan siber antara negara-negara adidaya, serta potensi konflik regional di Afrika dan Timur Tengah, semuanya menunjukkan bahwa dunia sedang berada dalam interval disonan. Situasi ini tidak bisa dihadapi hanya dengan pendekatan konvensional. Kita butuh pemahaman baru terhadap disonansi strategis, bukan hanya mencari harmoni semu.

Apa yang Belum Kita Pahami?

Ada tiga hal penting yang selama ini kurang kita gali dalam manajemen pertahanan:

1. Disonansi adalah bagian dari ritme global.  

Alih-alih dianggap sebagai gangguan, ketegangan justru bisa menjadi indikator awal perubahan. Ketegangan, konflik, dan gejolak bukanlah deviasi dari normalitas dunia, mereka justru bagian alami dan esensial dari dinamika global. 

Seperti halnya tritone memberi sinyal perubahan harmoni dalam musik, krisis dan gesekan geopolitik memberi kita suatu tanda tentang arah transformasi global. Dalam musik, tritone (atau Devil’s Interval) dianggap “tidak enak didengar” karena menciptakan rasa tidak stabil, biasanya “diresolusikan” menuju nada yang lebih stabil. 

Namun justru karena ketidakstabilan inilah, tritone menjadi alat untuk menciptakan transisi menuju harmoni baru. Begitu pula dengan geopolitik: krisis dan konflik adalah tanda bahwa sistem internasional sedang bergeser. Dengan kata lain:  

“Ketika dunia terasa tidak harmonis, itu berarti dunia sedang menulis lagu baru.”  

Dalam teori geopolitik kontemporer, Parag Khanna menyebut dunia saat ini sebagai “a chaotic, multipolar world” (Khanna, Connectography, 2016). Dunia tidak lagi diatur oleh harmoni dua kutub besar, tetapi oleh ratusan node yang saling bersinggungan dalam relasi kompleks.

2. Persepsi lebih berbahaya daripada realitas.  

Sama seperti disonansi tritone muncul karena interpretasi pendengar, konflik sering muncul bukan karena kekuatan nyata, tapi karena persepsi ancaman. Negara-negara yang merasa "terancam" cenderung mengambil langkah preventif yang justru memperburuk keadaan. Kita perlu memahami peta persepsi, bukan hanya peta kekuatan. 

Contohnya, Ketika Amerika Serikat menginvasi Irak tahun 2003 berdasarkan persepsi bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, yang pada akhirnya terbukti tidak ada, dan ini justru memicu destabilisasi jangka panjang. 

Menurut studi Harvard Belfer Center (2023), lebih dari 40 persen konflik bersenjata dalam dua dekade terakhir dipicu oleh "strategic misperception", bukan ancaman nyata. Ketidakmampuan membedakan antara signal dan noise telah membawa banyak negara ke dalam konflik yang seharusnya bisa dihindari.

3. Inovasi tumbuh dari ketidaknyamanan.  

Banyak inovasi dalam sejarah militer justru lahir dari kondisi krisis dan tekanan. Namun hari ini, kita cenderung membangun sistem pertahanan yang terlalu nyaman dalam zona regulasi, bukan zona adaptasi. Disonansi seharusnya dimanfaatkan sebagai pemicuan inovasi strategis, baik dari sisi teknologi, organisasi, maupun taktik. 

Seperti yang ditulis oleh Peter W. Singer dalam Ghost Fleet (2015), “perang masa depan tidak akan dimenangkan oleh kekuatan besar, tetapi oleh yang paling adaptif dalam menghadapi disrupsi teknologi.” Ini memperkuat pentingnya kemampuan beradaptasi dalam menghadapi disonansi strategis.

Menuju Manajemen Disonansi

Manajemen pertahanan masa depan harus didesain bukan hanya untuk meredakan konflik, tapi untuk mengelola ketegangan secara produktif. Sama seperti musisi menggunakan tritone untuk menciptakan atmosfer emosional, negara harus mampu menciptakan fleksibilitas dalam menghadapi disonansi global.

Beberapa langkah konkret:

Membangun “radar disonansi geopolitik”. Indonesia membutuhkan pusat-pusat pemantauan yang tak hanya melihat konflik aktual, tetapi memetakan friksi tersembunyi, ketegangan yang tak terlihat oleh media arus utama, tetapi dapat menjadi ancaman laten.

Menerapkan pendekatan sistemik dan adaptif. Tidak semua ancaman bisa dihadapi dengan pendekatan linier. Kita perlu membangun skenario, simulasi, dan sistem berpikir kompleks untuk memahami bagaimana satu ketegangan kecil bisa mengakibatkan cascade effects di ranah pertahanan, ekonomi, sosial, dan digital. Ini sejalan dengan pendekatan Peter Senge dalam The Fifth Discipline (1990) tentang pentingnya systems thinking dalam menghadapi kompleksitas.

Mengintegrasikan teknologi non-konvensional. Tritone dulunya ditolak karena tidak sesuai teori lama. Demikian pula dengan AI, quantum, atau teknologi biotek, yang sering kali dipinggirkan dalam doktrin militer klasik. Manajemen pertahanan masa depan harus berani membuka diri terhadap “nada-nada baru” teknologi.  

Data dari McKinsey Global Institute (2024) menunjukkan bahwa AI dan teknologi siber akan mendominasi 60% kebutuhan sistem pertahanan global dalam dekade berikutnya. Namun negara-negara berkembang belum menyusun peta jalan pertahanan digital secara menyeluruh.

Menyelaraskan Strategi dan Ukuran: Pentingnya Laboratorium Pengukur Pertahanan Negara (LabKurhanneg)

Dalam menghadapi dunia yang penuh disonansi strategis, satu kelemahan besar yang sering tidak kita sadari adalah tidak adanya sistem pengukuran yang presisi terhadap kinerja dan kesiapan pertahanan negara secara holistik. Kita sering terpaku pada narasi, tanpa metrik. Kita memiliki strategi, tetapi minim instrumen pengukur keberhasilannya.

Untuk itulah penting dibentuk Laboratorium Pengukur Pertahanan Negara (LabKurhanneg) di Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) sebagai pusat evaluasi, kalibrasi, dan validasi strategi pertahanan nasional. Unhan merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang secara resmi mendapat mandat negara untuk mengembangkan ilmu pertahanan

Lingkungan akademiknya yang multimatral, terdiri dari mahasiswa S2 dan S3 dari TNI, Polri, ASN strategis, serta mitra internasional, menjadikannya lokasi ideal bagi riset terapan dan pengembangan indikator strategis.

Sebagai institusi di bawah Kementerian Pertahanan, Unhan memiliki akses langsung terhadap data, doktrin militer, dan kebijakan strategis nasional, serta dapat berperan sebagai laboratorium kebijakan melalui evaluasi efektivitas kurikulum pertahanan yang sedang berjalan. 

Kehadiran LabKurhanneg di Unhan RI juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi strategis berbasis ilmu pengetahuan, menjadikan bangsa ini tidak hanya tangguh secara militer, tetapi juga unggul dalam kecerdasan strategis dan etika pertahanan.

Fungsi Strategis LabKurhanneg antara lain:  

Deteksi Dini Disonansi Sistemik. Mengidentifikasi sejak dini berbagai bentuk ketidakseimbangan atau kelemahan dalam sistem pertahanan nasional, baik dari sisi struktural, operasional, maupun ideologis.

Pengembangan Indikator Pertahanan. Menyusun indikator kuantitatif dan kualitatif untuk mengukur ketahanan dan kesiapan pertahanan secara menyeluruh, termasuk aspek militer, non-militer, serta sosial budaya.

Integrasi Data, Doktrin, dan Kebijakan. Menyatukan data empirik dari lapangan dengan doktrin militer dan arah kebijakan strategis agar keputusan yang diambil berbasis pada realitas objektif dan terukur.

Evaluasi Kurikulum Pertahanan. Menjadi instrumen penguji efektivitas kurikulum pendidikan pertahanan di Unhan RI agar selaras dengan dinamika ancaman aktual dan kebutuhan masa depan.

Kalibrasi Kesiapan Strategis Nasional. Memberikan umpan balik dan rekomendasi berbasis data untuk menyempurnakan strategi pertahanan nasional secara berkelanjutan dan adaptif.

Pendorong Inovasi Strategi Berbasis Ilmu. Mendorong munculnya model-model pertahanan baru yang tidak hanya defensif, tetapi juga proaktif dan inovatif dalam menjawab disrupsi global.

Penopang Diplomasi Pertahanan yang Terukur. Menyediakan dasar ilmiah yang kuat untuk memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi strategis di kawasan dan forum internasional

Penutup: Saatnya Mengubah Paradigma

Dunia tidak sedang menuju harmoni; dunia sedang bermain dalam skala disonan. Tugas kita bukan menolak perubahan, tetapi mengelolanya. 

Dalam musik, tritone yang dulu ditakuti kini menjadi bagian dari karya-karya paling indah dan jujur dalam menggambarkan realitas manusia. Demikian pula dalam pertahanan, kita tidak perlu takut pada disonansi global, selama kita memiliki partitur strategi yang adaptif, cerdas, dan visioner.

"Manajemen pertahanan bukanlah tentang menolak ketegangan, melainkan menyusun strategi dalam irama disonansi global agar tidak berubah menjadi kekacauan."

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved