Polemik Pengadaan Chromebook: IAW Dorong Audit dan Peninjauan Regulasi

Fokus penyelidikan yang kini mencakup layanan Google Cloud Platform (GCP) menunjukkan adanya potensi dominasi pihak asing.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Kolase DigitalTrends, Kompas.com/ShelaOctavia
KORUPSI LAPTOP CHROMEBOOK - Laptop Chromebook menjadi sorotan setelah diduga dikorupsi oleh empat mantan pegawai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada era Nadiem Makarim. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG — Penyelidikan terhadap proyek pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus berkembang. 

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menyebut langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang tengah mendalami kasus ini sebagai peluang penting untuk mengurai persoalan yang jauh lebih kompleks dari sekadar dugaan markup harga perangkat. 

Menurutnya, fokus penyelidikan yang kini mencakup layanan Google Cloud Platform (GCP) menunjukkan adanya potensi dominasi pihak asing terhadap infrastruktur data pendidikan Indonesia. 

Dia menuturkan, berdasarkan kontrak layanan GCP yang diperkirakan bernilai sekitar Rp250 miliar per tahun itu mencakup penyimpanan data siswa, sistem operasi, hingga analitik dan aplikasi pembelajaran semua dikendalikan di luar sistem pemerintahan Indonesia.

Iskandar menyebut mengapa data sensitif pelajar, termasuk identitas dan kebiasaan digital, disimpan di luar negeri tanpa persetujuan publik atau pengawasan hukum yang memadai. 

Ia menyebut situasi ini sebagai “kebocoran sistemik” yang mengabaikan prinsip kedaulatan data dan keamanan nasional.

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memuat berbagai kejanggalan dalam proyek ini turut memperkuat kecurigaan.

 Harga Chromebook antar-batch disebut fluktuatif tanpa justifikasi teknis, spesifikasi pengadaan diduga mengarah pada vendor tertentu, dan lebih dari 685 ribu unit dilaporkan belum terpakai, menumpuk di gudang.

Selain itu, kata dia, tidak ada evaluasi menyeluruh sejak program dimulai pada 2019.

“Artinya, ini bukan proyek gagal. Ini adalah rangkaian pelanggaran sistematik yang merugikan negara dan merusak integritas kebijakan pendidikan nasional," kata Iskandar, Jumat (18/7/2025). 

Pihaknya merinci lima potensi pelanggaran hukum dalam proyek ini. 

Pertama, UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor): Indikasi penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan vendor tunggal, Datascrip.

Kedua, UU Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ): Spesifikasi pengadaan dinilai tertutup, menutup ruang kompetisi terbuka.

Ketiga, UU Perlindungan Data Pribadi (PDP): Data anak-anak disimpan di luar negeri tanpa kontrol atau persetujuan publik.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved