Heran, Produksi Surplus Tapi Harga Beras Tinggi di Atas HET, Khudori: Pemerintah Sibuk Menumpuk

Di tengah klaim pemerintah soal produksi beras yang melimpah, harga beras justru terus menanjak dan bertahan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Penulis: Nappisah | Editor: Kemal Setia Permana
tribunjabar.id / Nazmi Abdurrahman
DI ATAS HET - Foto ilustrasi penjual beras di Pasar Gedebage, Kota Bandung, Sabtu (12/7/2025). Di tengah klaim pemerintah soal produksi beras yang melimpah, harga beras justru terus menanjak dan bertahan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) selama lebih dari setahun.  

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Di tengah klaim pemerintah soal produksi beras yang melimpah, harga beras justru terus menanjak dan bertahan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) selama lebih dari setahun. 

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menyebut situasi ini bukan anomali, melainkan akibat langsung dari kebijakan soal beras yang timpang dan tidak terintegrasi antara hulu, tengah, dan hilir.

“Stok Bulog memang besar, tapi kenapa harga beras tetap tinggi? Karena stok itu tidak disalurkan. Pemerintah sibuk menumpuk, bukan mengendalikan,” kata Khudori, secara virtual, Senin ,(14/7/2025). 

Menurut dia, sepanjang Januari–Mei 2025, penyerapan gabah oleh Bulog memang memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Namun di saat yang sama, harga beras medium di pasar tetap jauh melampaui HET

“Data BPS, Bapanas, Kementerian Perdagangan semuanya menunjukkan harga terus di atas HET. Tapi pemerintah seolah baru menyadarinya sekarang. Ini bukan fenomena baru,” ujarnya.

Baca juga: Mengejutkan, 212 Merek Beras Diduga Oplosan, yang Biasa Diklaim Premium, Potensi Rugi Rp1.000 T

Khudori menyebut setidaknya ada tiga penyebab utama mengapa harga beras tetap tinggi. Pertama, produksi memang surplus, tapi tidak merata. Data Januari–Juni 2025 menunjukkan produksi beras mencapai 18,76 juta ton. Setelah dikurangi konsumsi, tersisa surplus 3,2 juta ton. Dari angka itu, 2,6 juta ton diserap Bulog. Sisanya, sekitar 600 ribu ton, tersebar di tangan penggilingan dan pedagang kecil yang tak memiliki cukup daya serap atau kapasitas penyimpanan.

“Penggilingan saat ini relatif tidak punya stok. Kalaupun membeli gabah dengan harga tinggi sampai Rp8.000 per kilogrammereka akan menjual beras di atas HET. Dan itu artinya berhadapan dengan Satgas Pangan. Kalau dijual sesuai HET, pasti rugi. Jadi banyak yang akhirnya memilih berhenti produksi,” ungkapnya.

Kedua, pemerintah dinilai diam meski alarm HET sudah menyala.  

“HET itu semestinya jadi alarm. Dan alarm itu sudah merah sejak lama. Tapi pemerintah abai. Tidak ada SPHP, tidak ada bantuan pangan. Semua dihentikan awal tahun, dengan alasan panen melimpah. Akibatnya, harga naik terus,” ujarnya.

Padahal, menurutnya, bantuan pangan untuk 16 juta keluarga dan program SPHP sebesar 150 ribu ton untuk Januari–Februari sudah direncanakan sejak akhir 2024, namun tidak terealisasi. 

“Penyaluran hanya sempat jalan sebentar di Februari, setelah itu dihentikan,” katanya.

Ketiga, kenaikan harga gabah tak diimbangi penyesuaian HET

Kebijakan menaikkan HPP Gabah Kering Panen (GKP) dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 per kilogram tidak dibarengi dengan penyesuaian HET beras medium maupun premium. Akibatnya, harga beras di pasar tidak terkendali. 

Baca juga: Daftar Lengkap 26 Merek Beras Oplosan dan Siapa Produsennya, dari Setra Ramos sampai Raja Ultima

“Kalau bahan baku naik, tentu harga jadi ikut naik. Tapi HET-nya tetap. Ini tidak masuk akal,” tegasnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved